Ki Tanu yakin bahwa sakitnya ayah Ki Bekel akan segera sembuh. Ia kemudian memberikan beberapa butir jamu kepada Nyi Bekel agar diminumkan kepada ayahnya yang sakit. Pemberian jamu cukup sehari satu kali pada malam hari menjelang tidur. Ki Tanu juga menyarankan beberapa jenis makanan dan minuman serta buah-buahan yang sebaiknya diberikan kepada yang sakit.
Di pagi buta itu, Ki Tanu benar-benar minta izin untuk melanjutkan perjalanan. Ki Tanu dan Gendhuk Jinten juga berpamitan kepada keluarga lain yang juga menginap. Kali ini Ki Tanu tidak menyebutkan arah tujuan yang ingin dituju.
“Maaf Ki Bekel serta Nyi Bekel, kami berdua merepotkan kabekelan Sala ini…..!” kata Ki Tanu.
“Kamilah yang berterima kasih kepada Ki Tanu, karena ayah kami sudah mulai enak badannya….!” Nyi Bekel yang menyahut.
“Hanya karena kebetulan saya ada jamu yang cocok. Lebih dari itu, Gusti Yang Maha Agung yang berkenan memberi sarana penyembuhan…..!” kata Ki Tanu.
“Begitulah Nyi…..! watak seorang ksatria yang berbudi luhur dan rendah hati…..!” kata Ki Bekel Sala.
Ki Tanu terkejut ketika Ki Bekel mengatakan seorang ksatria. Ki Tanu baru menyadari bahwa ia belum sempat memoles kulitnya agar tampak kusam seperti orang dusun pada umumnya.
“Maaf, Ki Bekel dan Nyi Bekel….! Kami akan segera mohon diri….!” kata Ki Tanu agar tidak semakin dicurigai.
Ki Bekel dan Nyi Bekel pun tidak bisa menghalangi pamitnya Ki Tanu dan putrinya, Gendhuk Jinten.
“Tak salah dugaanku, Ki…..! Ki Tanu pasti seorang priyayi. Setelah mandi pagi terlihat aslinya, kulitnya kuning bersih, putrinya yang dipanggil Gendhuk Jinten pun terlihat sangat cantik…..!” kata Nyi Bekel kepada suaminya, Ki Bekel.
“Belum separuh baya, namun ilmu pengobatannya sungguh cespleng….! Ia pasti seorang yang berilmu tinggi pula…..!” kata Ki Bekel.
Sementara itu, Ki Tanu dan Gendhuk Jinten memerlukan berhenti sebentar untuk memoles kulitnya agar tampak kusam. Dengan demikian tidak akan menarik perhatian di perjalanan. Rambut dan dandanan Gendhuk Jinten pun sengaja dibuat tidak rapi seperti gadis dusun pada umumnya.
Jalanan sudah mulai ramai, para bakul menggendong bakulannya menuju ke pasar.
Ki Tanu ingin juga mampir ke pasar dan warung makan untuk sarapan mereka berdua. Ki Tanu tahu bahwa tak jauh dari tempat itu ada pasar yang cukup ramai, Pasar Kliwon. Dan hari itu adalah hari pasaran pula, Slasa Kliwon.
Di warung yang cukup ramai itu, Ki Bekel tidak mendengar orang yang memperbincangkan lagi tentang runtuhnya negeri Majapahit. Jarak yang ditempuh oleh Ki Tanu dan putrinya memang sudah cukup jauh. Gendhuk Jinten memilih sarapan jenang garut yang ia sukai.
Setelah sarapan, Ki Tanu mengajak putrinya untuk membeli bermacam rempah yang bisa diramu untuk bahan jamu. Mungkin sekali rempah itu akan sangat berguna di tempat yang akan dituju.
Ki Tanu juga membeli beberapa jenis bibit tanaman pangan seperti jagung, cantel, jewawut dan sejenisnya. Ia juga membeli alat pertanian seperti cangkul, sabit dan sejenisnya. Tempat yang akan dituju oleh Ki Tanu sudah tidak terlalu jauh. Jika tanpa rintangan, mungkin sebelum petang mereka berdua akan sampai tujuan. Namun demikian, Ki Tanu tak ingin membawa beban terlalu berat.
Lelehan lahar gunung Merapi terlihat semakin jelas, walau puncak gunung terkadang tertutup awan.
Setelah arah perjalanan lebih ke arah barat, kini Ki Tanu belok ke arah utara yang terasa menanjak naik walau tidak tajam.
Dalam pengembaraannya dahulu, Den Teja dan kawan-kawannya sempat beberapa pekan di tempat yang akan dituju itu. Ia telah mengenal Ki Demang di tempat itu saat itu, Ki Demang Pengging.
Kademangan Pengging di lereng gunung Merapi sisi timur. Daerah berhawa dingin dan subur, cocok untuk mengembangkan pertanian dan peternakan.
“Ayah…..! Itu laharnya meluncur cepat….!” seru Gendhuk Jinten.
“Sering juga hujan abu di daerah ini, abu yang menyuburkan tanah….!” kata Ki Tanu.
“Konon, dahulu gunung Merapi itu pernah njebluk – meletus yang menimbulkan prahara sangat dahsyat…..! Seluruh kawasan di sekitar gunung Merapi ini semua tertutup oleh lahar…..! Banyak candi yang hilang tertimbun pasir…..!” kata Ki Tanu.
“Bagaimana dengan orang-orangnya, ayah…..?” tanya Gendhuk Jinten.
………..
Bersambung……..
Petuah Simbah: “Seseorang yang benar-benar mumpuni, biasanya rendah hati.”