Ki Tanu kemudian menjadi perbincangan di kademangan dan kabekelan-kabekelan. Perbincangan dari mulut ke mulut itu, seperti yang sering terjadi, banyak dibumbui oleh orang kurang mengetahui.
“Pendatang yang namanya Ki Tanu itu sakti mandraguna dan bisa menyembuhkan segala penyakit….!” kata warga yang hanya mendengar cerita.
“Wuooo….! Tetanggaku yang bisu itu tentu juga bisa disembuhkan…..!” sahut yang lain.
“Mungkin saja…..! Mungkin orang lumpuh juga bisa disembuhkan…..!” sahut yang lain.
Mereka yang hanya mendengar, seakan lebih tahu dari mereka yang menyaksikan langsung.
Matahari belum tenggelam, mereka yang gotong royong – sambatan membuat pondok untuk Ki Tanu sudah pulang semua. Seperti hari sebelum, Gendhuk Jinten segera mandi di sungai yang tak jauh dari gubuk yang mereka tinggali. Ia ingin segera mendengar cerita lagi tentang negeri Mataram yang kemarin malam diceritakan oleh ayahnya. Ki Tanu pun dengan senang hati akan bercerita melanjutkan cerita yang terputus kemarin malam. Ki Tanu pun telah berbersih diri pula.
“Tidurlah Ndhuk….! Kau pasti capai setelah seharian menyiapkan sajian……!” kata Ki Tanu yang seakan tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh putrinya.
“Masih sore, ayah…..! Jinten ingin mendengarkan cerita lanjutan yang kemarin malam, ayah…..!” kata Gendhuk Jinten berharap.
“Baiklah, namun kali ini sebentar saja ya? Agar kau cepat beristirahat…..!” dalih Ki Tanu.
“Baiklah ayah…..!” kata Gendhuk Jinten.
“Ingat atau tidak, kemarin sampai cerita apa…..?” tanya Ki Tanu.
“Ingat, ayah…..! Raja Sri Panangkaran tidak sekuat Raja Sri Sanjaya ayahnya, sehingga negeri terpecah menjadi dua….!” kata Gendhuk Jinten.
“Ya benar…..! Ingatanmu kuat…..! Demikian itulah, jika saling berebut kekuasaan, negeri terpecah dan kawula yang menjadi korban….!” kata Ki Tanu.
Kemudian katanya; “Negeri sisi utara pulau ini dikuasai oleh Trah Sanjaya, sedangkan negeri sisi selatan dikuasai oleh Trah Syailendra…..!”
Ki Tanu kemudian menceritakan, bahwa negeri sisi selatan dari Trah Syailendra yang menjadi raja pertama adalah Sri Dharmatungga. Raja yang kuat sehingga kekuasaannya meluas sampai di luar pulau. Pada saat itu kebudayaan dan seni berkembang pesat. Pada zaman itulah mulai dibangun banyak candi di sisi selatan pulau ini.
“Apakah di tempat pawiyatan, kau pernah mendengar nama-nama candi, Ndhuk…..?” sela Ki Tanu.
“Ya, pernah ayah…..! ada candi Sewu, candi Prambanan, candi Borobudur dan banyak lagi….! Tetapi kata bapa guru, candi-candi itu sekarang banyak yang runtuh dan tertutup pasir. Benarkah ayah…..?” tanya Gendhuk Jinten.
“Ya benar….! Ayahmu ini pernah sampai di candi Prambanan dan sekitarnya. Bahkan ada yang dinamakan candi Bubrah, karena sudah hancur berantakan. Ada yang dinamakan candi Sewu, karena jumlahnya sangat banyak….! Sungguh hebat nenek moyang kita yang mampu membangun banyak candi yang agung dan megah…..!” lanjut Ki Tanu.
“Jinten juga pingin mengunjungi tempat-tempat itu, ayah…..!” kata Gendhuk Jinten.
“Baiklah, jika kita sudah mapan suatu saat kita ke sana. Dari tempat ini sudah tidak terlalu jauh, namun mesti melewati hutan belantara yang berbahaya, terutama alas Gondang….!” lanjut Ki Tanu.
Selagi Ki Tanu bercerita kepada putrinya, Gendhuk Jinten, terdengar bergeremang beberapa orang yang datang. Ki Tanu pun menghentikan ceritanya.
“Sepertinya ada beberapa orang yang datang…..!” kata Ki Tanu.
Benar, saat itu ada beberapa orang yang menandu seseorang yang sedang sakit yang diantar ke gubuk Ki Tanu.
“Permisi Ki Tanu…..! Paman kami sakit keras, mohon pertolongan Ki Tanu untuk diobati….!” kata salah seorang dari mereka setelah saling berkabar keselamatan.
“Saya hanya sekedar berusaha, dan tidak menjamin setiap orang yang sakit pasti dapat saya tolong…..!” kata Ki Tanu.
“Kami mengerti, Ki…..! Tetapi tolonglah paman kami ini….!” pinta salah seorang dari mereka.
Ki Tanu kemudian memeriksa orang yang sakit itu, orang yang tergolek lemas dan kurus.
………..
Bersambung……..
Petuah Simbah: “Perebutan kekuasaan mengakibatkan negeri terpecah dan rakyat yang menjadi korban.”
(@SUN)