Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(892)
Mataram.
Ki Juru Martani yakin bahwa murid yang tua dari orang bercambuk itu telah tuntas menyadap ilmu gurunya. Dengan demikian tidak harus didampingi oleh gurunya itu. Lagi pula, guru orang bercambuk itu telah lanjut usia, jauh lebih tua dari Ki Juru Martani sendiri. Sudah saatnya Guru orang bercambuk itu menjalani dan menikmati hari tuanya.
“Marilah Angger Panembahan, kita jemput pasukan itu…..!” Berkata Ki Juru Martani kemudian.
Bersama beberapa senopati Mataram, Kanjeng Panembahan Senopati serta Ki Juru Martani menjemput pasukan Mataram.
Mereka telah menerima laporan lengkap dari prajurit utusan. Ki Juru Martani dan Panembahan Senopati tahu pula bahwa senopati Darudeksa dan senopati Kalingga adalah dua orang senopati andalan kadipaten Pati yang berilmu tinggi. Namun kedua senopati tersebut mampu dikalahkan oleh dua orang murid orang bercambuk. Kedua orang petinggi negeri Mataram tersebut sejak mula telah mengetahui bahwa Guru orang bercambuk beserta dua orang muridnya adalah pendukung berdirinya negeri Mataram.
Walau yang terjadi bukan sebuah pertempuran yang besar, namun yang terjadi sesuai dengan laporan adalah telah berhasil mengangkat wibawa Mataram. Para petinggi Mataram layak menyambut pasukan itu.
Akhirnya pasukan berkuda itu telah tiba di perbatasan kotaraja Mataram. Yang pertama disalami oleh Panembahan Senopati dan Ki Juru Martani adalah dua orang murid orang bercambuk.
“Terimakasih Adi berdua, kalian telah menegakkan wibawa Mataram…..!” Sambutan dari Panembahan Senopati.
“Kami adalah bagian dari Mataram, Kanjeng Panembahan. Sudah selayaknya kami menjunjung tinggi wibawa Mataram…..!” Jawab murid orang bercambuk yang lebih tua.
Panembahan Senopati hanya tersenyum karena tahu bahwa murid orang bercambuk yang langsing itu memang rendah hati. Namun ia pun tahu bahwa orang itu berilmu tinggi. Karena ia tahu bahwa senopati Darudeksa adalah seorang yang berilmu tinggi pula. Mungkin senopati itu setingkat dengan Adipati Pragola sendiri. Namun ternyata, senopati Darudeksa menyerah kepada murid orang bercambuk itu.
Kemudian mereka di salami satu persatu oleh Panembahan Senopati maupun Ki Juru Martani serta para senopati yang menyertainya. Dan kemudian mereka beriringan menuju alun-alun Mataram.
Sementara itu, di Pajang, Sultan Benawa telah beberapa pekan terbaring di pembaringan. Beliau sakit demam tinggi dan kadang menggigil kedinginan. Sudah dikerahkan para Juru sembuh Kasultanan Pajang. Namun sakitnya tak kunjung reda. Sakit apa dan karena apa, para juru sembuh juga belum ada yang tahu. Mereka tahu bahwa Sultan Benawa adalah seorang yang berilmu tinggi serta sakti mandraguna. Namun menghadapi sakitnya, beliau tak berdaya. Seperti ayahandanya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang sugih ilmu serta sakti mandraguna pula. Namun juga tak mampu melawan sakitnya ketika kembali dengan mengendarai gajah dari Mataram. Demikian pula Ki Gede Pemanahan yang tangguh tanggon sebagai seorang senopati, namun dalam usia yang baru setengah baya tak mampu pula melawan sakitnya.
Demikian pula saat itu, Sultan Benawa yang masih muda, namun harus menanggung sakit keras yang belum diketahui sebab dan nama penyakitnya. Segala upaya telah ditempuh. Namun hasil terbaik belum juga bisa didapat. Yang terjadi justru hal yang sebaliknya.
Keadaan tubuh Sultan Benawa semakin memburuk. Sanak kadang terdekat pun telah berkumpul memanjatkan doa bagi kesembuhan Sultan Benawa. Namun di dini hari yang dingin yang disertai rintik hujan itu, tangis pecah di bangsal tempat Sultan Benawa dibaringkan. Istri beserta anak-anaknya beserta para kerabat dekat tak mampu menahan tangis. Sultan Benawa yang rendah hati dan berhati mulia. Yang dihormati kawan dan disegani lawan itu harus pergi untuk selama-lamanya. Ia telah menyusul sang ayah, mendiang Sultan Hadiwijaya.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.