Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1045
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Sementara itu dia orang juru rias kepercayaan kedaton Mangir telah datang di bangsal Ni Madusari. Ni Madusari dan Ni Pinjung telah bangun beberapa waktu yang lalu. Ia telah bisa beristirahat lebih dari cukup. Sedangkan Nyi Pinjung sama sekali tidak tidur. Namun bagi Nyi Adisara hal itu tidak menjadi masalah, karena ia adalah seorang prajurit wanita. Bahkan Ni Madusari telah mandi pula. Dua orang juru rias tersebut ternganga terpesona karena melihat kecantikan calon mempelai. Mereka kemarin belum sempat ikut melihat pertunjukan tarian teledek karena harus merias di tempat yang sedikit jauh. Mereka memang telah mendengar dari orang-orang yang kemarin melihat dan juga dari pihak kedaton yang datang, bahwa calon mempelai kali ini sungguh cantik jelita. Ternyata khabar itu benar adanya. Bahkan lebih mempesona dari yang mereka bayangkan sebelumnya.
“Bisa segera kita mulai Ndara…..? Kita berkejaran dengan waktu….!” Berkata salah seorang perias setelah mereka saling berkenalan dan saling berkabar keselamatan. Demikian juga dengan Nyi Pinjung alias Nyi Adisara yang selalu mendampingi Gusti Putri Pembayun.
“Jangan panggil aku Ndara, karena aku hanyalah penari teledek….!” Ni Madusari merendahkan diri.
“Bagaimana pun juga, Nini adalah calon mempelai dari junjungan kami, Gusti Ageng Mangir Wanabaya….!” Dalih salah seorang perias.
Ni Madusari hanya tersenyum bisa memahami sikap dari perias tersebut.
“Maaf Ndara, Ndara kami rias tipis saja agar tidak menutupi kecantikan Ndara Putri….!” Berkata salah seorang perias.
“Terserah Bibi saja….!” Jawab Ni Madusari.
“Bahkan rikma – atau rambut pun tak perlu gelung tambahan, sudah panjang dan tebal serta hitam berombak….!” Puji perias yang lain.
Mereka merias sambil berbincang ringan. Bahkan sempat bertanya asal-usulnya. Namun Nyi Pinjung selalu menjawab bahwa mereka dari dusun Gendingan tak jauh dari candi Kalasan. Ia masih cukup rapat menutupi jati diri bahwa sesungguhnya dari keraton Mataram.
Matahari belum semburat merah, namun geliat kehidupan telah terasa di seluruh telatah tanah perdikan Mangir. Mereka mengerjakan pekerjaannya menjadi lebih pagi. Pasar-pasar telah ramai oleh para bakul dan pengunjung. Mereka ingin belanja lebih pagi dan memasak lebih pagi pula agar sebelum matahari sepenggalah semuanya telah selesai. Mereka tidak ingin terlambat sampai di pendapa kedaton Mangir. Demikian juga mereka yang ke sawah dan yang ke kadang. Mereka yang mencari rumput pun telah mruput – berangkat sejak pagi. Semuanya demi bisa menghadiri perhelatan agung junjungan mereka, Ki Ageng Mangir Wanabaya yang mereka segani dan hormati. Ia seorang penguasa sebuah tanah perdikan, namun rendah hati dan dekat dengan warganya. Ki Ageng Mangir Wanabaya memang rajin berkunjung dari kademangan ke kademangan. Bahkan dari bekel ke bekel atau dari kebayan ke kebayan. Hampir semua warga pernah berbincang, atau paling tidak pernah bertatap muka dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Yang paling sering adalah kunjungan Ki Ageng Mangir Wanabaya ke rumah duka, terutama ke rumah para perangkat tanah perdikan yang berduka. Ia selalu menjadi pusat perhatian dari mereka yang hadir melayat.
Mereka bangga dengan junjungan mereka sehingga tak ingin melewatkan perhelatan agung yang akan diselenggarakan.
Ketika matahari naik sejengkal, seluruh persiapan telah selesai. Seluruh teratak telah terpasang, seluruh meja dan kursi telah tertata. Pelaminan pun telah dihias dengan indahnya namun masih diselubungi kain sutera. Gamelan sepangkon pelog slendro telah tertata pula. Demikian pula aneka hiasan janur telah terpasang dengan indahnya di seputar kedaton. Bahkan penjor dengan bambu menjulang tinggi telah berdiri indah berpasangan di empat sudut alun-alun.
………..
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

 
							