Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1083
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Malam itu memang dingin sekali. Namun Baron Sekeber justru mondar mamdir kegerahan. Gerah bukan karena panasnya udara, namun karena gelisahnya hati. Walau semula ia telah berniat akan menngetuk dan kemudian masuk ke dalam bilik Gusti Anem, namun ketika akan melangkah, muncul kebimbangan-nya. Bagaimana pun tindakannya bisa berakibat besar. Ia kembali duduk di bangku taman. Setelah beberapa saat duduk, ia kembali teringat Genduk Suli istrinya. Ia teringat jika malam dingin seperti itu, mereka berdua selalu larut dalam kemesraan. Tak ia sadari, gairah untuk mendatangi Gusti Anem bangkit kembali. Ia pun kemudian menggeliat.
Sementara itu, di malam yang dingin itu Kanjeng Panembahan Senopati yang dalam perjalanan pulang telah melewati telatah Blambangan. Ia sengaja tidak bermalam di banjar padukuhan atau kademangan. Ia memilih melanjutkan perjalanan yang melewati bulak-bulak yang panjang dan sepi. Ia berencana akan beristirahat di sebuah warung yang masih buka di malam hari. Biasanya warung sate, gule dan tongseng buka sampai malam hari. Sekalian nanti agar bisa memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat.
Benar saja, di sebuah jalan simpang ada warung yang masih buka. Namun di warung sudah ada empat orang yang jajan.
Sepertinya mereka telah hampir selesai menikmati makan malamnya. Ketika Kanjeng Panembahan Senopati masuk ke warung setelah menambatkan kudanya.
Panembahan Senopati kemudian duduk di pojok warung, sedikit jauh dari empat orang yang datang terlebih dahulu. Ia kemudian pesan sate dengan merica yang banyak agar badannya hangat.
Sekilas Kanjeng Panembahan Senopati melihat keempat orang itu saling berbisik. Namun telinga Kanjeng Panembahan Senopati yang tajam dan terlatih bisa mendengar bisik-bisik mereka. Yang ditangkap oleh pendengaran Kanjeng Panembahan Senopati, bahwa mereka menginginkan kuda miliknya yang ia tambatkan di luar.
Ketika penjual sate tersebut menyajikan untuknya, Kanjeng Panembahan Senopati sekalian titip uang muka yang berlebih untuk membayar pesanannya.
“Bayarnya besuk Kang, sekarang kami tak punya uang. Habis di permainan judi….!” Berkata salah seorang dari empat orang itu.
“Lha yang kemarin-kemarin saja belum dibayar, besuk kami tidak bisa jualan…..!” Dalih penjual sate itu.
“Sabar Kang….! Besuk kami pasti lunasi….!” Jawab orang itu.
Sementara orang itu tawar menawar dengan penjual sate, dua orang telah lebih dahulu keluar dari warung, sedangkan yang seorang yang bertubuh tinggi besar menghampiri Kanjeng Panembahan Senopati. Namun Kanjeng Panembahan Senopati membaca gelagatnya. Ia tak ingin dua orang yang telah keluar tadi keburu melarikan kuda miliknya. Ia tak ingin ribut dengan orang yang menghampiri itu yang pasti akan menghambat langkahnya. Ia justru meloncat lewat pintu samping dan kemudian berlari kencang ke arah kudanya.
“Heee jangan minggat….!” Teriak orang yang tinggi besar itu. Ia ingin mengejar tetapi terhalang bangku.
Benar saja dugaan Kanjeng Panembahan Senopati, dua orang tadi benar-benar telah mulai melepas tali pengikat kuda. Kanjeng Panembahan Senopati tak ingin terlambat. Ia kemudian memungut dua butir baru sebesar telur ayam. Sekejap kemudian terdengar keluh tertahan dari dua orang tadi.
“Uooch…. Uooch….!”
“Hee…. apa yang terjadi…..!” Teriak orang yang tadi berbincang dengan penjual sate.
“Bangsaaat….! Pasti orang itu….!” Umpat orang yang tinggi besar yang kemudian berlari keluar.
Namun ia pun mengeluh lebih keras.
“Auuuuch…..!”
Ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di halaman, sebuah tendangan tepat mengenai ulu hatinya. Ia pun tersungkur dengan menahan sakit yang amat sangat.
Orang yang berbincang dengan penjual sate segera keluar pula. Namun nasibnya tak lebih baik dari orang yang tinggi besar. Tiba-tiba ia pun jatuh tersungkur. Sebuah hantaman tepat mengenai dagunya.
……….
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.