Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1176
Mataram.
Sinuhun Hanyakrawati.
Senopati muda dari barak pasukan di Jatinom itu ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan dua orang yang sakti mandraguna tersebut. Yang bertarung adalah kakak sepupu yang juga sebagai gurunya. Namun demikian ia yakin bahwa gurunya itu akan mampu mengatasi keadaan. Ia tahu bahwa gurunya itu belum mengerahkan puncak ilmunya. Lagi pula ia juga tahu bahwa ia masih menyimpan jenis ilmu yang jarang dikuasai oleh orang sakti manapun. Dan ia tahu bahwa kakak sepupunya itu bukan seorang pembantai yang bangga jika dengan cepat bisa membunuh lawannya. Namun ia juga belum tahu apakah Ki Suranggala yang menjadi lawannya itu juga masih menyimpan ilmu andalan. Namun menilik permainan cambuknya, ia telah sampai pada puncak ilmu cambuknya. Dan jika lawannya bukan kakak sepupunya, mungkin lawannya telah tidak tahan menerima gempuran ledakkan cambuk yang bertubi-tubi. Bahkan jika Ki Suranggala itu dikeroyok oleh sepasukan prajurit pun akan bisa mengatasi. Senopati muda itu merasa beruntung dibimbing oleh kakak sepupunya yang berilmu tinggi. Ia juga merasa beruntung tidak berhadapan langsung dengan Ki Suranggala yang rambutnya telah putih semua itu. Ia sendiri tidak yakin bisa mengungguli ilmu dari Ki Suranggala.
Yang tidak sabar adalah murid orang bercambuk yang bertubuh gempal. Ia adalah adik seperguruan dari orang bercambuk yang sedang bertempur itu. Ia tahu bahwa kakak seperguruannya itu belum sampai ke puncak ilmunya dan juga belum menerapkan ilmunya yang lain. Bahkan ilmu kenalnya pun belum sampai ke puncak ilmunya. Ia tahu bahwa jika ilmu kenalnya telah sampai ke puncak akan memancarkan hawa panas di sekelilingnya. Dan itu belum terjadi. Yang selalu terlihat tersenyum adalah Raden Mas Rangsang. Ia merasa beruntung bisa menyaksikan pertarungan yang sungguh-sungguh dahsyat. Ia melihat bahwa orang bercambuk dari Pajang itu tidak mengalami kesulitan. Ia terlihat masih sekedar melayani permainan lawannya dengan permainan cambuknya. Cambuk lawannya masih saja menggelegar menggetarkan dada. Namun lawannya sama sekali tidak terpengaruh. Yang terpengaruh adalah para penonton yang tidak dilambari dengan ilmu kebal. Mereka pasti memilih menjauh dari arena pertarungan. Namun mereka yang memiliki kebal berani ikut berdesak menyaksikan pertarungan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa mereka yang menyaksikan adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Yang berdebar-debar adalah Pangeran Jayaraga. Ia tinggal bertiga bersama dua orang senopati pilihannya. Ia menyadari bahwa dari pasukan Mataram ternyata banyak yang berilmu tinggi. Terbukti mereka mampu bertahan untuk terus ikut menyaksikan pertarungan. Namun Pangeran Jayaraga yang juga sebagai adipati Ponorogo itu masih berharap, Ki Suranggala akan mampu membunuh lawannya. Yang Ia saksikan, lawan Ki Suranggala itu belum bisa memberi perlawanan yang membahayakan Ki Suranggala.
Dan jika Ki Suranggala sudah bisa membunuh lawannya, ia percaya bahwa jika ledakan cambuk yang menggelegar itu diarahkan ke kerumunan penonton, pasti akan langsung memakan banyak korban. Dan is sendiri akan mampu menangkap Raden Mas Rangsang keponakannya yang masih muda itu. Dan jika itu terjadi akan bisa menjadi sandera agar seluruh pasukan Mataram menyerah. Ia bisa melihat dengan jelas Raden Mas Rangsang yang berdiri di halaman depan pendapa keraton Ponorogo yang selalu tersenyum. Senyuman itu sungguh menyakitkan hati Pangeran Jayaraga.
“Kita tangkap anak muda yang berdiri di paling depan itu setelah Ki Suranggala menyelesaikan lawannya. Ia adalah calon putra mahkota keraton Mataram….!” Bisik Pangeran Jayaraga kepada kedua orang senopati pengapitnya.
“Tentu tidak sulit, Kanjeng…..!” Jawab salah seorang senopati pengapitnya.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

