Dalam perjalanan pulang, Gendhuk Jinten masih terbayang mimpi di siang bolong yang sangat indah. Tidak hanya indah, namun ia merasakan nikmat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebelumnya, bahkan ia membayangkan pun tidak pernah, namun mengapa mimpi itu tiba-tiba datang yang seakan nyata.
Gendhuk Jinten belum genap dua minggu nggarap sari namun mengapa sekarang seperti telah datang lagi? Karena kain jarit yang dikenakannya seperti ada noda darah seperti ketika garap sari datang. Batin Gendhuk Jinten yang tak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya.
Sementara itu, Bayaputih mengajak Lasa untuk segera pergi jauh dari kademangan Pengging. Bagaimana pun hatinya was-was jika Ki Tanu sampai mengetahui perbuatannya. Ia tahu bahwa Ki Tanu adalah seorang yang berilmu tinggi. Ia tidak yakin akan mampu menandingi, walau ia tidak takut. Namun lebih baik menghindari perselisihan dengan Ki Tanu.
“Ayo Lasa….! Kita pergi ke Prambanan seperti yang pernah kau ceritakan itu…..! Besuk pulangnya kita mampir di kademangan ini lagi…..!” ajak Bayaputih tanpa mengatakan apa yang telah ia lakukan terhadap gadis putri Ki Tanu, Gendhuk Jinten.
“Baik Pangeran…..! Kita bisa turun ke arah selatan dan kemudian belok ke arah barat…..!” kata Lasa.
“Aku perlu banyak pengetahuan dan pengalaman di telatah ini…..! Tentu sangat berguna bagi kehidupanku kelak….! Dan jika aku kembali ke tanah seberang akan banyak cerita tentang telatah ini…..!” lanjut Bayaputih.
“Namun saya harus mengatakan kepada teman sejawat sebagai prajurit sandi, bahwa saya harus menyertai gusti pangeran…..!” kata Lasa.
“Aku tunggu di warung dekat pertigaan yang kemarin kita singgahi…..!” kata Bayaputih.
Bayaputih benar-benar segera melangkah meninggalkan kademangan Pengging. Ia tak ingin bertemu dengan Ki Tanu. Kekhawatiran tetap menghantui perasaannya karena perbuatannya. Namun tak dipungkiri bahwa kepuasan telah ia raih setelah ia teguk madu murni gadis kademangan Pengging. Bahkan keinginan untuk mengulangi terbersit di pikiran nakalnya.
Bayaputih dan Lasa telah melangkah meninggalkan kademangan Pengging. Namun keduanya terkejut ketika melihat iring-iringan orang berkuda dari arah berlawanan.
“Siapakah kira-kira mereka Lasa….? Sebaiknya kita menepi saja…..!” kata Bayaputih yang tak ingin membuat masalah di kademangan Pengging.
“Kita lihat nanti kalau sudah dekat….!” kata Lasa.
Mereka berdua pun kemudian menepi di bawah pohon yang rimbun di pinggir jalan.
“Ooo…., mereka adalah rombongan Ki Demang Pengging. Dan itu yang terlihat tampan, kencang dan kuat dengan kumis tipis itu adalah Ki Tanu…..!” kata Lasa.
“Ooh…., diakah Ki Tanu….? Masih cukup muda, belum paruh baya….!” kata Bayaputih yang hatinya berdebar juga melihat Ki Tanu. Terlebih ketika Ki Tanu sepertinya melirik kepadanya. Beruntungnya, kuda-kuda mereka tidak berkurang lajunya. Mereka pun segera berlalu.
“Mereka pasti baru pulang dari kabekelan Pereng seperti rencana mereka…..!” kata Lasa.
Setelah kuda-kuda berlalu, Bayaputih dan Lasa melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang tidak mudah karena harus melewati beberapa hutan. Ada hutan Wiring walau tidak lebat, karena sudah ada jalan yang membelah sampai di kademangan Sangkalputung. Kademangan Sangkalputung yang sudah cukup ramai seperti kademangan Pengging. Setelah kademangan Sangkalputung masih ada hutan lagi yaitu alas Benda dan alas Gondang. Alas Gondang juga ditakuti oleh mereka yang akan lewat, karena di sana sebagai sarang para penyamun. Mereka yang akan menyeberang alas Gondang harus berombongan dan memerlukan pengawal. Pengawal rombongan itu biasanya adalah para pengawal kademangan Sangkalputung yang terlatih.
“Aku senang dengan tantangan yang kau ceritakan itu, Lasa….!” kata Bayaputih.
“Dahulu ketika kami menyeberang hutan itu berenam, teman satu perguruan. Jadi kami tidak perlu pengawal….! Justru kami memancing agar bertemu dengan para penyamun itu. Namun sayang kami tidak bertemu…..!” cerita Lasa.
………..
Bersambung……….
Petuah Simbah: “Perasaan bersalah akan membuat hati berdebar, khawatir diketahui oleh orang lain.”
(@SUN)