Kemudian terdengar gelak tawa dari mereka ketika salah seorang dari mereka melaporkan hasil hitungannya.
“Hitungan saya ada sembilan ratus tiga puluh tujuh…..!” kata orang itu tanpa ragu.
“Ha ha ha ha ….. ngitungnya sambil tidur, Kaaang…..?” sindir kawannya.
Orang itu hanya tersenyum kecut.
“Dia nggak ngitung……, cuma kira-kira……!” seloroh lainnya.
Gelak tawa pun kembali terdengar.
Rara Jonggrang pun ikut tersenyum lebar.
Namun bagi Raden Bandung Bandawasa, gelak tawa orang-orang dan senyuman Rara Jonggrang sungguh menusuk perasaannya.
Ia selama ini tidak pernah gagal dalam setiap menjalankan kesanggupan. Namun kini, ia merasa dipermalukan oleh orang yang telah menggetarkan hatinya.
Raden Bandung Bandawasa hanya bisa menggigit bibirnya sendiri untuk menahan amarah yang membuncah.
Rara Jonggrang tersenyum sinis penuh kemenangan. Bahkan ia kini berani bertolak pinggang dihadapan Raden Bandung Bandawasa yang sakti mandraguna itu. Namun orang yang sakti mandraguna itu telah ia kalahkan tanpa harus adu kesaktian.
Merah pada wajah Raden Bandung Bandawasa ketika Rara Jonggrang berjalan mendekatinya sambil berkata.
“Tak ada gunanya orang yang sakti, namun ingkar janji. Tak mampu memenuhi permintaan yang telah ia sanggupi…..! Sanggup mewujudkan seribu candi, namun masih kurang satu….!”
Amarah Raden Bandung Bandawasa tak tertahankan. Belum selesai Rara Jonggrang melanjutkan kata-katanya, sudah dipotong oleh Raden Bandung Bandawasa.
“Candi kurang satu….! genapnya kau menjadi patung batu…..!” dengan suara menggelegar.
Orang-orang yang menyaksikan terperangah dan hanya bisa ternganga. Mereka menyaksikan, Rara Jonggrang benar-benar menjadi patung batu yang tak bergerak sama sekali.
Setelah salah seorang menyadari apa yang terjadi, ia pun lari terbirit-birit. Ia ketakutan jika ikut terkutuk menjadi patung batu.
Yang lain pun ikut melarikan diri pula, namun beberapa dari mereka justru tersungkur, kaki terasa berat untuk melangkah karena sangat ketakutan. Ada pula yang terkencing-kencing membasahi celana mereka. Mereka seakan melihat hantu di siang bolong.
Raden Bandung Bandawasa sendiri tertegun dengan akibat dari kata-katanya. Rara Jonggrang yang telah menggetarkan hatinya itu benar-benar telah menjadi batu. Beberapa saat ia mengamati sosok Rara Jonggrang itu, dan ternyata sungguh-sungguh telah menjadi batu.
Beberapa saat Raden Bandung Bandawasa belum beranjak dari tempat itu. Ia masih berpikir, apa yang mesti ia lakukan kemudian.
Raden Bandung Bandawasa merasa, tidak pada tempatnya jika patung Rara Jonggrang itu tetap di tempat itu. Ia kemudian memandang cekungan candi yang sebelumnya tempat Rara Jonggrang berdiri mengamati padang rerumputan yang kini telah berubah menjadi tatanan candi nan indah.
Dengan ilmunya, Raden Bandung Bandawasa kemudian mengangkat patung Rara Jonggrang itu untuk ditempatkan di cekungan candi yang telah ia amati.
Raden Bandung Bandawasa kemudian kembali ke keraton Pengging dengan berbagai perasaan yang berkecamuk.
Ki Bekel Klurak berhenti bercerita, karena kisah yang ia dengar turun temurun adalah seperti itu. Dan ia merasa puas karena telah bisa bercerita kepada tamu dari jauh.
“Demikianlah kisanak, kisah Rara Jonggrang itu…..!” kata Ki Bekel.
Birawa sangat kagum terhadap cerita yang ia dengar. Meskipun terbersit dalam benaknya bahwa kejadian yang sesungguhnya belum tentu seperti itu. Namun ia tidak ingin bertanya, apalagi berbantah dengan Ki Bekel.
Demikian pula Wilapa, walau ia pernah mendengar cerita itu, namun apa yang dikisahkan oleh Ki Bekel sepertinya kejadian nyata, karena ia melihat dengan langsung tempat-tempat dalam kuat tersebut.
“Marilah kisanak, kita kembali ke Klurak yang tidak jauh dari tempat ini……!” ajak Ki Bekel.
Sementara itu di Kademangan Pengging yang berbeda dengan keraton Pengging dalam kisah Raden Bandung Bandawasa, Ki Tanu sangat gusar dan gelisah. Ia mengamati keadaan Gendhuk Jinten yang tidak wajar.
……………
Bersambung……….
Petuah Simbah: “Berhati-hatilah dalam berkata-kata, karena bisa menjadi kenyataan.”
(@SUN)