Gendhuk Jinten heran, sudah lebih dari satu bulan ia tidak garap sari. Tetapi ia tidak berpikir yang tidak-tidak, mungkin itu disebabkan oleh karena terlalu capai atau memang tidak teraturteratur datangnya.
Ia juga sering mual-mual hingga muntah-muntah, tetapi ia mengira itu karena salah makan sesuatu atau masuk angin. Mual dan muntah itu kadang datang, namun kadang tak terasa sama sekali.
Gendhuk Jinten juga merasakan perubahan dua buah gunung kembarnya semakin mengkal, namun ia mengira karena memang masih dalam masa pertumbuhan.
Gendhuk Jinten juga merasakan perubahan di perutnya, namun ia menduga karena ia bertambah gemuk saja karena doyan makan. Ia juga heran, mengapa lebih suka makan mangga muda daripada mangga yang telah masak.
Semua perubahan tubuh dan perilaku Gendhuk Jinten tak lepas dari pengamatan Ki Tanu. Ki Tanu yang mendalami ilmu penyembuhan dan berpengalaman, curiga dengan keadaan putri semata wayangnya. Namun nalarnya menepis kemungkinan itu.
“Aaach….., itu tidak mungkin terjadi pada putriku…..!” tepis Ki Tanu.
“Tetapi…..! tetapi jika itu terjadi…..? Betapa malu hati ini…..!” pikir Ki Tanu.
Ki Tanu yang menjadi panutan bagi seluruh kawula kademangan Pengging tak bisa menerima jika itu benar-benar menimpa putrinya.
Namun ia tak pernah melihat seseorang yang menaruh hati kepada putrinya itu. Dan putrinya itu juga tidak pernah mengatakan bahwa telah memiliki kedekatan dengan seseorang.
Pagi itu, Gendhuk Jinten kembali muntah-muntah di peturasan.
Ki Tanu sebagai juru sembuh mencoba memberi jamu pereda mual kepada putrinya itu. Namun sepertinya mual dan muntahnya masih belum reda, jamunya sepertinya tidak berpengaruh sama sekali.
“Aku harus bertanya kepada Jinten, apa yang telah ia perbuat dengan seorang lelaki, dan siapakah lelaki itu……..?” batin Ki Tanu.
Meskipun demikian, Ki Tanu harus bisa mencari waktu yang pas untuk membicarakannya.
Sementara itu, Birawa dan Wilapa telah berpamitan kepada Ki Bekel Klurak. Banyak terimakasih ia sampaikan karena kebaikan dari Ki Bekel kepada mereka berdua.
Namun Ki Bekel terkejut bukan kepalang, ketika Birawa berpamitan, ia menyerahkan kenang-kengangan sebentuk cincin emas dengan lambang negeri Demak Bintara.
“Terimalah ini Ki Bekel, sebagai kenang-kengan bahwa seorang pangeran Demak Bintara pernah menginap di pendapa kabekelan Klurak ini…..!” kata Birawa yang lain adalah Bayaputih.
Ki Bekel Klurak tergagap menerima cincin yang bertanda negeri Demak Bintara. Ia semakin geragapan setelah tahu bahwa pengembara yang bernama Birawa itu adalah seorang pangeran.
Lasa pun mengaku sebagai seorang prajurit pengawal pangeran itu.
Ki Bekel Klurak sama sekali tidak menduga bahwa yang ia ajak bersenda gurau adalah seorang pangeran dan seorang prajurit Demak Bintara.
Bayaputih dan Lasa benar-benar telah meninggalkan Prambanan. Ia ingin segera kembali ke Demak Bintara. Namun Bayaputih ingin mampir lagi di Kademangan Pengging. Ia ingin tahu kabar tentang Gendhuk Jinten. Dan ia berharap bisa bertemu kembali dan mengulangi peristiwa yang pernah terjadi.
“Aku ingin mampir lagi di Pengging….! Usahakan agar aku bisa bertemu dengan Jinten seperti beberapa waktu yang lalu…..!” kata Bayaputih.
“Baiklah, kita mesti menunggu lagi kesempatan ketika Ki Tanu sedang tidak berada di pondoknya…..!” kata Lasa.
“Kaulah yang mengatur segalanya…!” kata Bayaputih.
“Kita kembali lewat jalan lain yang lebih dekat namun lewat lereng gunung Merapi….!” tawaran Lasa.
“Ooh…., aku setuju…..! tentu sangat menyenangkan…..!”
“Dari candi Sewu, kita lurus ke arah Gunung Merapi, nanti akan kita temui pasar Jambon yang cukup ramai pula. Dan nanti kita akan belok ke arah matahari terbit akan sampai di Kademangan Kemalang. Dari Kemalangan kita akan lewat kademangan yang tak kalah ramai dengan Kademangan Sangkalputung, yaitu Kademangan Jatinom…..!” kata Lasa yang kaya pengalaman mengembara pada masa mudanya.
“Terserah kamu saja……!” kata Bayaputih singkat.
………….
Bersambung………
Petuah Simbah: “Hati-hati, perbuatan terlarang antara pria dan wanita bisa menjadi candu untuk diulangi dan diulangi.”
(@SUN)