Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1031
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Ki Sandiguna memainkan dua buah kendang, kendang besar dan kendang kecil dengan rancak yang memukau para penonton.
Di babak akhir dari tarian tersebut adalah tari tayub seperti yang pernah ditampilkan di alun-alun Mataram. Tarian yang bisa melibatkan penonton untuk menjadi pengibing – yakni penari pria yang berpasangan dengan sang penari.
“Boleh menjadi pengibing, tetapi tidak boleh menyentuh penari…..!” Berkata Ki Sandiguna dengan lantang.
“Woooo….., ledek kok tidak boleh disentuh…..!” Teriak seorang penonton yang telah maju untuk menjadi pengibing.
“Yaaa….., di rombongan kami memang penarinya tidak boleh disentuh…..! Pengibing bebas untuk memberi uang atau tidak kepada kami……!” Jawab Ki Sandiguna lebih lantang lagi.
Walau kecewa, namun orang itu tetap maju untuk mengibing penari yang lebih muda. Apalagi bebas memberi uang atau tidak. Bahkan ada lima orang yang telah maju untuk menjadi pengibing.
“Harap bergantian, dua orang setiap satu iringan gending…..!” Berkata Ki Sandiguna lagi.
Akhirnya yang tiga orang mundur dan yang dua orang tetap maju untuk menjadi pengibing.
Seorang yang telah lebih separuh baya maju ke depan untuk mengibing penari yang lebih dewasa. Tiga orang tersebut sungkan kepada orang separuh baya itu.
“Waaah Ki Bayan tidak mau kalah…..!” Celetuk salah seorang penonton yang kenal dengan pengibing itu yang tak lain adalah Ki Bayan Kembaran.
Ki Bayan hanya tersenyum yang kemudian mulai menari. Gerakan Ki Bayan memang luwes karena dia adalah seorang penari di masa mudanya.
“Marilah Ki Bayan, imbangi aku…..!” Berkata penari yang tak lain Nyi Adisara yang tahu bahwa orang itu adalah Ki Bayan karena celetuk-an penonton.
“Marilah Nyi…..!” Sahut Ki Bayan. Para penonton pun bertepuk tangan memberi semangat kepada Ki Bayan yang mereka hormati.
Nyi Adisara pun senang berpasangan dengan Ki Bayan walau sudah lebih dari separuh baya.
Yang mengibing penari yang lebih muda adalah seorang yang sudah tidak muda lagi. Wajah dan perawakannya tidak bisa dikatakan tampan dan gagah apalagi rapi.
Gerakan orang itu kasar dan kaku. Para penonton yang hampir semuanya warga sekitar sudah saling mengenal. Demikian juga orang itu dikenal sebagai salah seorang berandalan di kampungnya. Sebagian besar warga kampung takut kepada orang itu, namun juga tidak senang.
Ketika irama gendang menghentak- hentak menggairahkan, orang itu mencoba menyentuh penari yang lebih muda yang tak lain adalah Gusti Putri Pembayun sendiri. Namun Gusti Putri Pembayun mampu menghindar. Dan para penonton pun mentertawakan orang itu. Namun orang itu semakin nekat ingin menyentuh Gusti Putri Pembayun. Nyi Adisara yang menari di samping Gusti Putri Pembayun melihat hal itu. Ia tak tinggal diam. Sampurnya tiba-tiba menyabet pipi lelaki pengibing yang kurang ajar tersebut. Lelaki itu pun mengaduh dan kemudian terhuyung jatuh. Ia merasa ditampar dengan keras. Para penonton yang tidak mengerti yang sesungguhnya mentertawakan lelaki itu. Mereka mengira bahwa lelaki itu hanya bercanda. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa sampur tersebut bagai lempeng baja yang menghantam pipi lelaki tersebut. Lelaki tersebut mencoba bangkit, namun sekali lagi sampur Nyi Adisara menampar muka lelaki itu.
Para penonton kembali bersorak dikira peristiwa tersebut adalah lelucon. Namun lelaki tersebut baru menyadari bahwa penari yang menampar dengan sampur tersebut seorang yang berilmu tinggi. Maka, sebelum ia mendapat malu yang lebih besar, ia segera menyelinap di antara para penonton dan kemudian pergi. Para penonton hampir semua tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Baru kemudian ada yang menggantikan lelaki kurang ajar itu sebagai pengibing berpasangan dengan Gusti Putri Pembayun.
Ki Bayan pun telah diganti oleh pengibing yang lain.
………….
Bersambung………
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

