Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1046
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Semuanya serba dadakan, namun karena kesetiaan serta hormat dan segan kepada sang penguasa tanah perdikan Mangir, segala persiapan bisa berjalan dengan lancar.
Para wiyaga – para penabuh gamelan telah datang paling dahulu. Mereka sengaja akan menabuh gamelan jauh lebih awal dari rencana tata upacara. Seakan mereka mengundang siapa pun untuk segera datang. Atau paling tidak agar segera bersiap.
Benar saja, sejenak kemudian alunan gamelan dengan nada ganjur telah menggema yang terdengar sampai di luar telatah kedaton. Bilah-bilah gamelan memang dipukul dengan keras. Di pasar terdekat dari kedaton pun telah terdengar alunan gending nada ganjur dengan cukup jelas. Mereka pun riuh memperbincangkan tentang perhelatan agung tersebut. Mereka yang berbelanja ingin cepat-cepat pulang karena masih harus memasak. Para bakul makanan dan minuman ingin segera pindah tempat di sekitar pendapa atau di sekitar alun-alun. Mereka ingin mencari tempat agar tidak didahului oleh orang lain.
“Horeee…., sudah dimulai….!” Teriak beberapa anak di sekitar pendapa kedaton yang kemudian berlarian mendekat. Namun para orang tua tahu bahwa itu baru merupakan gending untuk mengawali sebelum tata upacara benar-benar dimulai. Walau demikian, hampir semua kemudian bersiap-siap untuk berangkat. Terutama mereka yang mendapat tugas. Ni Inten Pramesti – adik dari Ki Ageng Mangir Wanabaya telah menyiapkan para penari yang akan tampil. Bukan lagi tarian tayub yang akan ditampilkan. Melainkan tarian adiluhung yang cocok dengan tata upacara yang akan berlangsung.
Benar saja, Ki Wanakerti dan para perangkat yang bertugas menerima tamu segera datang bersiap diri.
Para perias yang merias Ni Madusari telah selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Justru karena kecantikan dan mulusnya kulit sang mempelai sehingga tidak perlu terlalu banyak polesan. Jika terlalu tebal dan banyak polesan justru akan menutupi kecantikan yang sesungguhnya. Ni Adisara pun telah berdandan sepantasnya. Ia memang dipercaya untuk selalu mendampingi sang mempelai wanita.
Benar saja, beberapa saat kemudian di sekitar pendapa telah banyak orang yang berdatangan. Mereka ingin mencari tempat yang nyaman dan leluasa untuk menonton. Bukan hanya ingin menonton tontonan, tetapi juga ingin menyaksikan pasangan sang mempelai.
Para tamu undangan pun telah mulai berdatangan. Yang mengherankan, para perangkat tanah perdikan seperti para demang, para bekel, para bayan yang dari jauh justru telah tiba terlebih dahulu.
“Selamat datang Ki Demang Slarong, yang dari jauh malah sudah datang lebih dahulu….!” Sapa Ki Wanakerta yang telah akrab dengan Ki Demang dari Slarong.
“Terimakasih Ki Wanakerta, tadi kami melihat Ki Demang Pandansimo sedang menitipkan kudanya….!” Berkata Ki Demang dari Slarong.
Mulai berdatangan pula para demang yang lain, demikian pula para bekel dan para bayan. Mereka yang dari Srandakan, dari Besole, dari Bibis, dari Sempu dan yang lainnya. Hampir semua demang, bekel dan bayan menyempatkan diri untuk hadir dalam perhelatan agung itu. Mereka tak ingin melewatkan acara yang mungkin tak akan terulang lagi, walau semua serba dadakan.
Sebelum matahari sepenggalah, pendapa dan teras-teras di samping dan di depan, bahkan di bawah tratak telah di penuhi oleh tamu undangan. Sedangkan di sekitarnya telah berjubel pula para penonton. Tak biasanya sebuah perhelatan pernikahan menjadi sebuah tontonan kecuali untuk mereka yang diundang. Namun kali ini berbeda dengan perhelatan pernikahan pada umumnya.
Ki Ageng Mangir Wanabaya selalu tersenyum ceria mengetahui yang hadir telah memenuhi tempat yang disediakan. Bahkan oleh berjubelnya para penonton di sekitarnya. Ia tidak mengira akan mendapat sambutan yang sedemikian besar dari kawula Mangir. Sedangkan semua itu serba dadakan.
……….
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.