Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1049
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Ternyata pertunjukan belum usai, sang penari kemudian mengambil sebuah kendi, tempat air minum yang terbuat dari bejana tanah liat. Bejana yang menyerupai teko yang rawan pecah. Tangan kiri membopong boneka bayi sambil memegangi payung, sedangkan tangan kanan memegang kendi sambil tetap menari selaras dengan irama gamelan, terutama gendang. Gerakan tari yang luwes sungguh sangat memikat.
Ni Madusari sungguh menghayati tarian itu karena ia sendiri pernah menari seperti itu di pentas yang sesungguhnya pula.
Namun para penonton yang pernah menyaksikan tarian itu masih menunggu adegan tari yang cukup mendebarkan. Yakni menari di atas kendi berdiri yang diinjak.
Benar saja, sesaat kemudian sang penari telah meletakkan kendi di lantai. Sambil tetap menari dengan membopong boneka bayi dan payung, dengan hati-hati ia naik di atas kendi. Sebuah adegan tari yang menuntut keberanian, keterampilan dan keseimbangan. Tidak sembarang penari mampu melakukannya. Namun sang penari tersebut mampu melakukannya, bahkan sambil beringsut memutar tepung gelang. Bahkan banyak dari para penonton yang berdebar. Karena jika sang penari sedikit saja hilang keseimbangan akan terjatuh di lantai. Lagi pula sang penari itu memakai kain jarit yang ketat. Tangan kiri tetap menggendong bayi sedangkan tangan kanan memegang payung yang mengembang. Belum lagi jika kendi yang diinjak itu tiba-tiba pecah. Namun Ni Madusari yang adalah Gusti Putri Pembayun tahu bahwa payung yang mengembang itulah yang sangat membantu keseimbangan. Seakan payung itu adalah sebuah pegangan. Dan Ni Madusari tahu juga bahwa kendi yang tampak ringkih itu akan tetap mampu menahan beban sang penari.
Tepuk tangan dari para penonton menggema ketika sang penari mampu berputar sampai tiga kali. Tidak sembarang penari mampu melakukan adegan tari seperti itu. Kini sang penari dengan hati-hati turun dari atas kendi. Ketika turun pun memerlukan keseimbangan yang tinggi. Karena bisa saja sang penari itu akan terpeleset.
Para penonton kembali bertepuk tangan riuh ketika tiba-tiba sang penari membanting kendi sehingga pecah berkeping-keping.
Pecahnya kendi sebagai perlambang membuka pintu rezeki bagi pasangan tengantin yang akan mengarungi biduk rumah tangga.
Bahkan Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Ni Madusari pun ikut bertepuk tangan pula.
Bahkan pertunjukan belum usai, ketika sang penari kemudian mengambil keping demi keping pecahan kendi tersebut. Pecahan kendi kemudian dilemparkan ke arah penonton dengan dilambungkan sehingga tidak berbahaya. Para penonton pun berebutan untuk menangkap. Pecahan kendi yang dilemparkan itu sebagai perlambang pembagian rezeki dari sang pengantin. Beberapa kali sang penari melemparkan pecahan kendi itu ke berbagai arah. Sorak sorai pun semakin riuh. Mereka yang bisa menangkap pecahan gerabah menari-nari kegirangan. Seakan mereka sungguh mendapatkan rezeki. Yang lebih seru adalah ketika beberapa orang menjarah pecahan yang masih berserakan di lantai arena. Tepuk tangan dan sorak sorai pun meledak di pendapa kedaton Mangir tersebut. Ni Madusari pun tersenyum gembira, sedangkan Ki Ageng Mangir Wanabaya sampai tertawa girang.
Kini penari Bondan dengan sang bayi di gendongan telah melangkah meninggalkan arena pentas. Sang penari tersenyum bahagia seakan benar-benar sedang menggendong buah hatinya. Itulah harapan untuk kedua mempelai agar nantinya juga segera dikaruniai buah hati yang tentunya akan mbahagiakan kedua orang tuanya. Tepuk tangan mengiringi langkah sang penari. Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Ni Madusari pun tersenyum simpul bahagia. Terbayang oleh Ni Madusari nantinya akan membopong buah hati dari sang suami, Ki Ageng Mangir Wanabaya. Tak terbersit dalam benaknya bahwa sang suami adalah musuh dari sang ayah. Justru terbersit dalam angannya untuk mempertahankan mahligai perkawinan ini untuk mendamaikan Mataram dan Mangir.
………..
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

