Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1133
Mataram.
Sinuhun Hanyakrawati.
Pasukan dari timur itu pun kalang kabut.
“Awas…..! Serangan dari arah belakang….!” Teriak salah seorang senopati dari pasukan yang datang dari timur itu.
Di malam menjelang pagi itu, bulan telah tenggelam di balik cakrawala. Di udara yang dingin itu terasa lebih gelap. Mereka tak mungkin untuk mengejar para penyerang. Mereka tidak tahu seberapa banyak jumlah para penyerang. Sebaliknya, para penyerang lebih mudah membidik sasaran yang bergerombol. Setiap luncuran anak panah akan menimbulkan keluhan lawan yang tertancap ujung anak panah. Yang bisa mereka lakukan adalah dengan berlindung di balik pepohonan atau tengkurap.
Demikian pula yang berada di ujung depan yang telah berada di jembatan atau tepi sungai. Mereka pun hanya bisa berlindung di balik pepohonan atau tengkurap. Namun senopati muda dari barak prajurit di Jatinom yang berilmu tinggi itu mampu melihat keremangan para prajurit di seberang sungai. Ia jarang melontarkan anak panah, namun setiap kali busur terentang, sesaat kemudian terdengar keluhkan di seberang sungai.
Pasukan dari timur itu tidak hanya terhambat perjalanannya untuk bergabung dengan pasukan Demak, namun benar-benar terhenti. Sementara itu serangan dari arah belakang masih sering terjadi, demikian pula dari arah depan. Mereka pun tidak mungkin untuk menyeberangi sungai yang jembatannya telah runtuh di ujung. Sementara tak sedikit para prajuritnya yang terluka. Bahkan ada pula yang tak tertolong. Tak sedikit anak panah yang menancap di ulu hari, di lambung atau bahkan di leher. Pasukan dari timur itu belum sempat bergabung dengan pasukan Demak, namun korban telah berjatuhan. Para prajurit muda yang sebelumnya semangatnya berkobar-kobar untuk unjuk kemampuan sungguh tidak mengerti mengapa kejadian ini bisa terjadi. Mereka banyak yang sudah terluka sebelum bertempur di medan laga. Mereka baru menyadari, kemenangan sebuah pertempuran tidak hanya ditentukan oleh kekuatan dan jumlah prajurit saja. Namun juga oleh kecerdikan para petinggi pasukan dalam memanfaatkan setiap peluang. Dan itulah yang terjadi pada para pimpinan pasukan Mataram. Dan yang sebaliknya terjadi pada pasukan gabungan dari tiga kadipaten yang besar dan banyak jumlah prajuritnya. Yakni dari Rembang, dari Blora dan dari Jipang. Mereka tidak berdaya mendapat serangan yang tiba-tiba di malam yang gelap gulita. Mereka hanya bisa menunggu datangnya terang.
Sedangkan para prajurit yang tercebur di sungai banyak pula yang tak mampu menyelamatkan diri. Mereka hilang terbawa arus sungai yang sesungguhnya tidak terlalu deras. Para prajurit yang sebelumnya hiruk pikuk dan kalang kabut itu, kini hanya bisa diam. Karena setiap pergerakan bisa saja akan mengundang batang anak panah. Namun dalam keadaan diam itu masih saja terdengar keluhan tertahan dari para prajurit dari timur itu. Mereka ada yang tertimpuk batu sebesar telur ayam. Batu-batu yang dilontarkan dengan bandil oleh pihak lawan. Dilontarkan baik yang dari seberang sungai maupun yang dari arah belakang. Mereka yang tengkurap akan sulit disasar dengan anak panah, namun lebih mudah tertimpuk batu dari lawan. Batu-batu itu tidak terlalu berbahaya, namun pasti mengganggu. Apalagi jika kepala yang tertimpuk.
Para penyerang kini semakin jarang melontarkan serangan, namun mereka masih bersiaga di seberang sungai dan di luar garis belakang. Mereka pun akan menunggu sampai matahari terbit. Dan akan memastikan bahwa pasukan dari timur itu terhambat untuk bergabung dengan pasukan Demak. Bahkan mereka mandek di seberang sungai itu.
Sementara itu, matahari telah semburat merah di ufuk timur. Pasukan Demak pun telah bersiaga di padang rumput di luar kota raja Demak. Mereka pun telah siap dengan memasang gelar perang Garuda Nglayang untuk menghadapi gelar perang lawan.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

