Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1194
Mataram.
Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Gusti Putri Dyah Banowati kemudian menggandeng Raden Mas Rangsang, putranya untuk menengok jasad ayahnya, Sinuhun Hanyakrawati.
“Sungguh sangat mengenaskan keadaan ayahmu, Ngger….!” Bisik sang ibu, Gusti Putri Dyah Banowati.
Raden Mas Rangsang tidak menjawab, namun tampak raut muka yang menahan kesedihan. Sungguh tidak menyangka akhir kehidupan seorang raja besar yang tangguh di medan laga, namun meninggal di krapyak kandang kijang menjangan.
Malam hari itu, pendapa keraton Mataram dipadati oleh mereka yang memberikan penghormatan terakhir kepada Sinuhun Hanyakrawati. Pertanda bahwa Sinuhun dihormati dan dicintai kawula. Sedangkan seorang anak muda hilir mudik kesana kemari namun tak berkata apa-apa. Sepertinya anak muda itu tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Mungkin saja ia merasa aneh bahwa malam itu tidak seperti malam sebelumnya yang sepi. Orang- orang yang sedang tuguran itu tidak ada yang menegur anak muda itu. Mereka hanya saling berbisik. Namun dari bisik-bisik itu kemudian tersebar khabar bahwa esok hari anak muda putra Garwa Selir itu akan diwisuda menjadi nata – raja negeri Mataram yang besar ini. Dialah Raden Mas Wuryah yang bergelar Pangeran Martapura.
“Apakah benar khabar itu….?” Kata-kata yang menjadi pertanyaan banyak orang.
“Kita tunggu saja besuk….!” Jawaban banyak orang pula yang ragu bahwa wisuda itu akan terjadi.
“Apakah Ki Patih Mandaraka yang bijak itu tidak mencegah hal itu akan terjadi….?” Pertanyaan yang juga menjadi pertanyaan banyak orang. Namun ternyata bocor juga wasiat yang pernah disampaikan oleh mendiang Sinuhun Hanyakrawati bahwa putra Garwa Selir itu harus menjadi raja di keraton Mataram ini.
“Sabda pandita ratu, tan kena wola-wali….!” Bisik banyak orang pula.
“Yaaa…., seorang raja seperti halnya seorang pandita tak boleh berdusta. Apa yang telah dikatakannya tidak bisa dicabut kembali….!” Sahut yang lainnya.
Hampir semua orang prihatin jika hal itu sungguh akan terjadi. Mereka membandingkan dengan seorang anak muda yang tampan dan terlihat kokoh kuat dengan adat sopan santun yang tinggi. Ia kini sedang duduk tepekur di samping jasad yang ayah, dialah Raden Mas Rangsang.
“Beliau-lah yang layak menggantikan ayahandanya….!” Bisik banyak orang pula.
“Lagi pula, beliau adalah putra dari sang permaisuri, Gusti Putri Dyah Banowati….!” Jawaban ragu dari banyak orang pula.
“Mengapa pula Gusti Patih Ki Mandaraka tidak terlihat malam ini….?” Pertanyaan banyak orang pula.
Namun sesungguhnya mereka tahu bahwa Ki Patih Mandaraka memang sudah sepuh yang tidak mungkin ikut tuguran di malam hari itu. Walaupun sesungguhnya banyak dari mereka yang berharap Ki Patih Mandaraka membatalkan rencana wisuda nata yang tidak wajar tersebut. Namun demikian, hampir semua penggemar wayang kulit kemudian membandingkan dengan putra mahkota negeri Hastinapura pura, Raden Saroja Kesuma. Putra mahkota itu pun tabiatnya jauh dari sewajarnya seorang yang telah dewasa. Ia pun bertingkah seperti seorang anak kecil yang manja kolokan. Dan ia pun tidak memiliki adat sopan santun sedikitpun. Dia memang putra mahkota yang lahir dari permaisuri Dewi Banowati, putri Prabu Salyantaka di negeri Mandaraka. Dia adalah permaisuri dari Prabu Duryudana di negeri Hastinapura. Walau anak itu banyak kekurangan, bahkan jauh dari kewajaran, namun ia adalah cucu ponakan kesayangan dari Ki Patih Sengkuni. Patih Sengkuni yang culas dan licik itu yakin akan mampu mengendalikan anak itu jika nantinya telah menjadi raja. Dengan demikian, kekuasaan yang sesungguhnya, nantinya ada di tangannya. Dialah – Patih Sengkuni itu yang akan mengatur semuanya. Dialah raja di balik layar negeri Hastinapura nantinya.
Sungguh kebetulan bahwa nama permaisuri itu sama-sama bernama Banowati. Dyah Banowati adalah putra Pangeran Benawa di Pajang, permaisuri Sinuhun Hanyakrawati. Sedangkan Dewi Banowati adalah putri Prabu Salyantaka di Mandaraka, permaisuri Prabu Duryudana di Hastinapura.