Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1206
Mataram.
Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Perhitungan Ki Tumenggung Mandurareja, lebih baik Pangeran Martapura tidak berdaya dari pada merepotkan penyelenggaraan. Bagi Ki Tumenggung Mandurareja, yang penting wasiat Sinuhun Hanyakrawati bisa terlaksana di samping jasadnya. Untuk tata upacara selanjutnya akan diserahkan kepada Ki Patih Mandaraka yang juga ayahanda dari Ki Tumenggung Mandurareja.
Dengan wajah merah padam menanggung malu, Garwa Selir berjalan di belakang putrandanya. Meskipun demikian, ia tetap yakin bahwa wisuda nata untuk putranya tetap berlangsung. Ia menunduk sambil menggenggam kalung robyong yang tidak bisa dipakai karena putus. Dengan wajah geram, ia berkhayal; “Tunggu….! Sebentar lagi kekuasaan atas Mataram ada di tanganku. Suatu keuntungan bahwa putraku kini tak berdaya.”
Semua yang hadir tidak ada yang berisik. Mereka khawatir tidak bisa menyaksikan dan mendengar kelanjutan dari tata upacara tersebut. Demikian pula para kerabat, para nayaka praja dan para petinggi negeri, mereka pun diam. Yang tidak lebih mengerti adalah para adipati dan para pengiringnya yang dari luar Mataram. Mereka pun heran setelah mengetahui siapa dan bagaimana keadaan dari Pangeran Martapura yang akan diwisuda itu. Jika itu sungguh terjadi, pasti wibawa Mataram akan luntur, bahkan hilang. Tak akan ada lagi kadipaten yang akan berada di bawah naungan Mataram. Bahkan para prajurit dan kawula Mataram pun heran, mengapa wisuda nata ini benar-benar akan terlaksana. Bahkan dengan dipaksakan dan kini tinggal menunggu saat-saat untuk wisuda nata tersebut.
Yang menunduk dalam-dalam adalah sang permaisuri Dyah Banowati. Ia masih belum mengerti, mengapa kedudukan sebagai permaisuri menjadi tidak berarti. Lebih tidak mengerti lagi, yang akan diwisuda adalah putra dari garwa selir yang tuna grahita. Mengapa Ki Patih Mandaraka yang kondang sebagai orang yang bijak kok merestui wisuda ini. Permaisuri Dyah Banowati kemudian teringat syangnya, Sultan Hadiwijaya sebagai sultan Pajang. Demikian pula sang ayah, Pangeran Benawa juga sempat menjadi sultan Pajang pula. Semestinya sangat layak jika putranya, Raden Mas Rangsang yang juga cucu buyut dari Ki Pemanahan, dan juga cucu dari Panembahan Senopati menerima waris takhta keraton Mataram. Terlebih lagi ia adalah seorang permaisuri, kurang apa?” Batin permaisuri Dyah Banowati. Airmatanya pun meleleh deras di pipinya.
“Sabar Bunda, kita ikuti saja seluruh rangkaian tata upacara yang telah disusun oleh Eyang Patih Mandaraka….!” Bisik Raden Mas Rangsang menghibur ibundanya. Ia tak menjawab, namun heran mengapa putranya itu tidak menuntut hak waris yang semestinya jatuh padanya.
Namun lamunan permaisuri Dyah Banowati terputus ketika Ki Tumenggung Mandurareja telah berdiri di mimbar upacara. Terlihat dua orang prajurit yang juga sebagai senopati Mataram merangkul Pangeran Martapura yang tak berdaya di kiri dan kanan-nya. Dua orang dayang telah membawa nampan di atas-nya ada benda mengerucut yang diselubungi dengan kain sutera berenda indah. Semua yang menyaksikan meyakini bahwa itu adalah mahkota kerajaan dan kelengkapannya. Sedangkan Garwa Selir tetap berdiri di belakang putrandanya dengan berdebar-debar.
Pendapa keraton Mataram hening seketika. Ki Tumenggung Mandurareja memulai sesorahnya.
“Yang Mulia Sinuhun Hanyakrawati yang dihormati dan dicintai oleh kawula seluruh negeri….! Kami ingin melaksanakan wasiat Sinuhun yang disampaikan kepada Garwa Selir dan telah diketahui oleh Ki Patih Mandaraka…..!” Ki Tumenggung Mandurareja berhenti sejenak, ia seakan berbicara langsung kepada Sinuhun Hanyakrawati. Ia kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh sudut pendapa. Seakan ingin meyakinkan bahwa yang ia katakan didengar oleh semua yang hadir.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

