Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1211
Mataram.
Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Mereka masih belum bisa menduga apa yang akan terjadi kemudian. Apakah tahta akan dibiarkan kosong untuk beberapa waktu atau dilanjutkan tata upacara yang lain. Namun mereka tak ingin melewatkan apa yang akan terjadi. Terlebih mereka yang jauh dari luar telatah Mataram. Seandainya mereka harus menginap pun akan mereka jalani. Di sekitar dampar yang telah terbuka dan kosong, para petinggi negeri tampak masih berbincang dengan sungguh-sungguh. Ki Patih Mandaraka yang duduk di kursi dikelilingi oleh para nayaka praja dan para kerabat raja.
Dalam pada itu, dua buah kereta perang telah keluar dengan perlahan lewat gerbang belakang dari alun-alun pungkuran. Di belakangnya berderap puluhan kuda dari salah satu bregada Gagak Ireng. Di paling depan dua ekor kuda berderap pelan. Di belakangnya kereta perang yang di dalamnya ada Garwa Selir yang lemas tak berdaya. Ia diapit oleh dua orang senopati wanita. Sedangkan Senopati Gagak Bangah duduk di bagian belakang dari kereta itu. Saisnya pun sais andalan yang terbiasa mengendalikan kereta itu.
Di belakangnya lagi dua orang prajurit berkuda pula. Baru kemudian kereta perang yang di dalamnya ada Pangeran Martapura yang juga tidak berdaya. Ia juga diapit oleh dua orang senopati dan seorang senopati lagi yang duduk di bagian belakang.
Baru kemudian bregada prajurit berkuda berderap di belakangnya. Mereka berderap ke arah utara.
“Kita akan menuju ke Gunung Pring, sebelum gunung Tidar….!” Berkata Ki Gagak Bangah kepada saisnya.
“Baik Gusti Senopati….!” Jawab sais kereta itu.
Jalanan memang lengang karena sebagian besar kawula Mataram sedang berada di pendapa keraton dan sekitarnya, bahkan di alun-alun.
Dalam pada itu, di siti hinggil tengah berlangsung tata upacara wisuda yang berbeda dengan sebelumnya. Raden Mas Rangsang yang telah berdandan busana ksatria telah dirangkap dengan busana raja.
Kini kendali tata upacara dipercayakan kepada Ki Tumenggung Singaranu.
Pendapa keraton Mataram kembali hening, semua mengikuti tata upacara dengan khidmat. Ketika kemudian Ki Patih Mandaraka mengangkat mahkota susun tiga yang sebelumnya dimahkotakan kepada Pangeran Martapura. Mahkota kemudian diarahkan ke segala penjuru pendapa agar bisa dilihat oleh semua mereka yang hadir. Mereka semua membungkuk hormat. Tampak permaisuri Dyah Banowati meneteskan air mata yang meleleh di kedua pipinya. Tentu saja air mata haru bahagia. Persaan permaisuri Dyah Banowati memang terguncang. Perasaan sebelumnya sangat sedih dan ia kini sangat bahagia.
Tiba-tiba semua yang berada di pendapa dan di halaman sekitarnya bersimpuh dan mengatupkan kedua telapak tangan tanda sikap hormat yang dalam. Saat itu Ki Patih Mandaraka tengah memahkotakan mahkota susun tiga di kepala Raden Mas Rangsang. Raden Mas Rangsang kemudian membungkuk hormat kepada Ki Patih Mandaraka dan kemudian kearah seluruh penjuru pendapa membalas sikap hormat dari mereka yang hadir. Raden Mas Rangsang tampak tampan dan gagah serta berwibawa.
Tatapan matanya tajam namun teduh.
“Sinuhun raja kita yang baru berkenan lenggah dampar kencana….!” Berkata Ki Tumenggung Singaranu.
Seketika semua yang hadir berdiri dengan sikap hormat.
Dengan langkah perlahan namun mantap, Raden Mas Rangsang yang belum menyatakan gelarnya menuju ke dampar kencana.
Sebelum Raden Mas Rangsang lenggah dampar, ia tersenyum keseluruh yang hadir dan kemudian membungkuk. Mereka yang hadir-pun membungkuk pula dengan sikap hormat dengan telapak tangan ditelangkupkan.
Sesaat kemudian, Raden Mas Rangsang lenggah di dampar kencana. Mereka yang hadir pun kemudian duduk kembali seperti semula. Mereka membayangkan Raden Mas Rangsang seperti Prabu Hayam Wuruk pada saat kejayaan negeri Majapahit di masa lalu.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

 
							