Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
445
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Sementara itu di Giri, Sunan Mrapen telah menerima para siswanya dalam bidang keagamaan. Kanjeng Sultan Hadiwijaya pun telah hadir, demikian pula Ki Pemanahan. Kanjeng Sunan Mrapen lebih banyak sesorah tentang ilmu agama. Para siswa pun menyimak dengan seksama.
Namun sesorah dari Kanjeng Sunan Mrapen kemudian berkembang ke cara syiar agama. Yang dikehendaki oleh Kanjeng Sunan adalah bahwa mereka dalam bersyiar jangan sampai melukai hati umat.
“Masuklah dalam budaya mereka, jangan kalian hapus budaya yang mereka sungai seperti halnya wayang dan tari-tarian……!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen.
Kanjeng Sunan Mrapen mengatakan hal itu karena telah mendengar beberapa adipati melarang budaya tersebut dengan alasan tidak selaras dengan ajaran agama.
Para siswa yang hadir, yang kebanyakan adalah para petinggi dari kadipaten-kadipaten memahami maksud dari Kanjeng Sunan Mrapen tersebut. Demikian pula Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Pemanahan yang duduknya terpisah. Kanjeng Sultan Hadiwijaya duduk di paling depan, sedangkan Ki Pemanahan duduk di paling belakang.
Kanjeng Sunan Mrapen masih panjang lebar mewejang – mengajar para siswanya.
Namun kemudian Kanjeng Sunan Mrapen beralih ke permasalahan lain.
Ia kemudian berpesan untuk saling hidup rukun dalam mengemban pemerintahan di kadipaten masing-masing.
“Sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak, bahwa saat ini Kanjeng Sultan Hadiwijaya adalah pewaris pemerintahan Majapahit dan kemudian Demak dan sekarang Pajang……! Kalian sekalian harus bisa menerima kenyataan ini…..! Bersatulah kalian pasti akan teguh…..!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen yang ditujukan kepada para pemegang kekuasaan di kadipaten-kadipaten. Karena dalam kenyataannya, masih ada beberapa kadipaten yang belum sepenuhnya rela dan setia kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya sebagai penguasa tunggal di tanah Jawa.
Mulai saat itu, berkat wejangan dari Kanjeng Sunan Mrapen tersebut, para adipati menyatakan kesetiaan kepada pemerintahan Panjang.
Namun tiba-tiba Kanjeng Sunan Mrapen berdiri dan memanggil Ki Pemanahan yang duduk di belakang untuk maju.
“Adi Pemanahan….., majulah…..!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen tiba-tiba.
Ki Pemanahan pun kemudian maju mendekat kepada Kanjeng Sunan Mrapen. Mereka, para siswa yang lain tidak tahu apa maksudnya Kanjeng Sunan Mrapen tersebut secara pribadi memanggil Ki Pemanahan. Ki Pemanahan pun tidak tahu mengapa dirinya dipanggil mendekat kepada Kanjeng Sunan Mrapen. Ki Pemanahan merasa bahwa saat itu ia bukanlah siapa-siapa karena sudah tidak lagi sebagai senopati agung Kasultanan Pajang. Ia merasa bahwa saat itu hanyalah sebagai seorang pimpinan rombongan yang sedang babat hutan Alas Mentaok. Ia merasa tidak selayaknya duduk di depan.
Namun kemudian Kanjeng Sunan Mrapen berkata yang mengejutkan siapa pun yang mendengar, tidak terkecuali Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
“Mata batinku melihat, di dalam diri Adi Pemanahan ini ada takdir yang tersembunyi. Dan yang tersembunyi itu akan aku katakan saat ini mumpung bertemu; “Di dalam dirinya aku lihat ada benih keturunan yang anak turunnya akan menjadi penguasa di tanah Jawa ini…..!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen yang tidak lagi tersamar.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya terhenyak mendengar perkataan dari Kanjeng Sunan Mrapen tersebut. Namun demikian Kanjeng Sultan Hadiwijaya tidak berkata apapun.
Para adipati saling berbisik kecil, namun mereka pun tidak membantah pernyataan dari Kanjeng Sunan Mrapen tersebut.
Sedangkan Ki Pemanahan kemudian memberikan sungkem bakti kepada Kanjeng Sunan Mrapen. Namun tiba-tiba, Ki Pemanahan juga bersungkem sujud kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya dengan tidak mengatakan sesuatu apapun. Sedangkan Kanjeng Sultan Hadiwijaya juga tidak berkata apa-apa.
…………..
Bersambung……….
(@SUN)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.