Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(503)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Kehadiran Raden Mas Danang Sutawijaya itu bukan ingin pamer, tetapi ingin memberi semangat kepada seluruh kawula Mataram, khususnya calon pemukim Kotagede.
Kehadiran Raden Mas Danang Sutawijaya tidak sia-sia. Semangat para pekerja sungguh membara. Mereka tak kenal berleha-leha, tetapi sengkut tak kenal lelah.
Mereka berhenti bergotongroyong jika matahari benar-benar telah tenggelam.
Jika pekerjaan itu dikerjakan dengan tidak terpaksa, tetapi dengan sukarela dan gembira tentu tidak cepat lelah.
Benar juga, hari itu panjang jalan yang bisa dikerjakan jauh lebih panjang dari hari-hari biasanya.
“Jika seperti ini, tidak sampai sepekan jalan ini pasti sudah tembus ke Kotagede……!” Berkata Ki Ageng Giring.
“Semoga Paman……!” Jawab Raden Mas Danang Sutawijaya. “Setelah ini, semua menggarap alun-alun, pendapa dan pemukiman……!” Lanjut Raden Mas Danang Sutawijaya.
Mereka yang mengerjakan alun-alun pun semangatnya berlipat.
Bentuk alun-alun semakin tampak.
Di pinggir patok batas telah bertumpuk kayu gelondongan. Kayu gelondongan itu nanti bisa digunakan untuk membangun pemukiman. Bahkan bangunan sangat berlimpah.
Sementara itu, di keraton Pajang, Kanjeng Sultan Hadiwijaya merasa sepi. Orang-orang kepercayaannya telah tidak di sampingnya lagi.
Ki Penjawi telah di Pati, Raden Mas Danang Sutawijaya belum juga menengok ke keraton Pajang. Demikian pula Ki Pemanahan, yang ia dengar telah bergelar Ki Ageng Mataram. Bahkan Ki Pemanahan telah bedol desa Manahan untuk pindah ke Mentaok. Bahkan sebagian wilayah Laweyan. Demikian pula warga Sela hampir semuanya pindah pula ke Mentaok. Juga warga Pengging tak sedikit yang ikut babat Alas Mentaok.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya semakin merasa sepi semenjak kepergian Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka itu. Ki Patih Mandaraka pun telah mengajak hampir seluruh keluarganya. Dengan demikian, Ki Patih Mandaraka yang ia tuwakan dan ia hormati itu kecil kemungkinan akan kembali ke Pajang. Selama ini Ki Patih Mandaraka-lah yang ia minta saran-saran dan bahkan nasehatnya.
Para senopati dan petinggi Pajang, tidak ada yang sepadan dengan mereka yang telah meninggalkan Pajang. Putranya, Raden Benawa belum dewasa penuh, walaupun telah ia gembleng dengan ilmu kanuragan dan ilmu jayakasantikan.
Sementara beberapa adipati di bang wetan belum setia kepada kepada Pajang. Bahkan beberapa adipati mulai menampakan perlawanan.
Benteng utama di bang wetan adalah Adipati Rangga Jumena di Madiun. Adipati Rangga Jumena yang sebelumnya dikenal dengan nama Pangeran Timur itu adalah kakak ipar dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Demikian pula Bojanegara, Sukawati dan Ngawi tetap setia kepada Pajang. Hampir semua Adipati di bang tengah dan pantai utara tetap setia kepada Pajang. Terutama adalah Jepara dengan Ratu Kalinyamat-nya serta Pati dengan Ki Penjawi.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya harus menghimpun kekuatan dari kadipaten-kadipaten yang tetap setia kepada Pajang untuk menghadapi beberapa kadipaten di bang wetan. Namun demikian, bagi Kanjeng Sultan masih tetap merasa kurang dengan tidak adanya Ki Patih Mandaraka, Ki Pemanahan serta Raden Mas Danang Sutawijaya. Mereka-lah yang selama ini mendampingi.
Yang Kanjeng Sultan Hadiwijaya khawatirkan dahulu, dengan menyerahkan Alas Mentaok bukan semata-mata telatah-nya, namun para priyagung yang meninggalkannya menjadi kenyataan. Sungguh, Kanjeng Sultan Hadiwijaya merasa sangat kehilangan.
“Mentaok yang sekarang bernama Mataram itu tak perlu disesalkan, Kanjeng Sultan. Telatah di tengah hutan itu tidak mungkin akan berkembang….!”
Berkata salah seorang senopati Pajang dalam suatu kesempatan.
“Diamlah…..! Kau tidak tahu apa yang aku pikirkan…..!” Berkata Kanjeng Sultan Hadiwijaya dengan kesal.
Senopati itu, bahkan banyak dari mereka memang tidak tahu apa yang ada di benak Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
………….
Bersambung…………
(@SUN-aryo)
Merujuk pada riwayat tertulis maupun peta lama, hemat saya, saat awal Mataram, sebutan Ngawi sebagai kadipaten belum ada. Sebutan sebagai kadipaten baru ada setelah terbitnya piagam dari Sultan Hamengku Buwono tgl 2 Jumadilawal 1756 Aj (10 Nopember 1828 M), yang menetapkan Ngawi sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan.
Pada peta lama, bahkan pada peta Belanda th 1812, nama Ngawi juga masih belum ada.
Saat itu, daerah tersebut lebih mungkin masuk sebagai wilayah Kadipaten Djagaraga atau Jogorogo. Kadipaten Jogorogo sendiri baru dihapus pada th 1839, 9 tahun setelah kekalahan atau akhir perang Diponegoro.