Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(526)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Dalam keseharian, Kanjeng Sultan Hadiwijaya juga merasa sepi. Tidak ada lagi kerabat yang bisa diajak bertukar pikiran. Bahkan nasehat seperti yang sering disampaikan oleh Ki Juru Martani. Tidak ada lagi orang yang diajak untuk menyusun gelar perang seperti ketika masih ada Ki Pemanahan. Tidak ada lagi anak muda yang selalu ia latih olah kanuragan dan olah jayakasantikan seperti ketika masih ada Danang Sutawijaya. Sesungguhnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya sangat merindukan putra angkatnya itu. Namun sampai saat ini Raden Mas Danang Sutawijaya belum pernah menghadap sekalipun.
Ada Raden Benawa putranya, tetapi belum dewasa penuh.
Ada Ki Penjawi, tetapi hanya pada saat pisowanan seperti saat ini.
Ada Pangeran Timur yang bergelar Adipati Rangga Jumena seperti saat ini.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya telah mendengar dari prajurit telik sandi, bahwa Mataram sedang membangun pemukiman di Kotagede. Di sana telah ada sekitar delapan ratus warga. Dari hitungan jumlah tentu masih sangat sedikit dibanding dengan kotaraja Panjang. Bahkan dengan kotaraja kadipaten manapun tentu lebih kecil.
Dari segi kekuatan tentu tidak bisa dipandang ringan. Kanjeng Sultan Hadiwijaya tahu bahwa di sana ada Ki Juru Martani, Ki Ageng Mataram, Ki Ageng Giring, Ki Demang Karanglo dan juga para cantrik padepokan Sela yang boyongan ke Mentaok.
“Apakah Mentaok diserbu sekarang saja, Kanjeng Sultan. Sebelum anak macan itu menjadi besar……!” Berkata seorang senopati Pajang pada suatu saat.
“Diam-lah kau……! Kau tidak tahu apa yang aku pikirkan…..!” Jawab Kanjeng Sultan dengan nada keras saat itu.
Kanjeng Sultan memang tidak ada keinginan untuk menyerang Mataram.
Sang senopati itu pun terdiam, tidak mengira bahwa Kanjeng Sultan marah atas usulannya itu.
Pertimbangan sang senopati tentu masuk akal. Selagi Mataram belum menjadi besar dan kuat, tentu mudah untuk mengalahkannya. Atau Mataram juga harus mengirimkan utusan untuk bergabung dengan pasukan Pajang.
Namun demikian, Kanjeng Sultan tentu mempunyai pertimbangan lain. Justru di sana ada orang-orang yang ia hormati dan sayangi.
Namun demikian, Kanjeng Sultan harus segera memulai pasewakan agung, karena Siti Hinggil telah di penuhi orang, para nayaka praja serta para senopati dan para utusan dari berbagai kadipaten.
Kanjeng Sultan berbesar hati karena semua kadipaten yang diharapkan mengutus utusan, semua mengirim utusan. Salah seorang senopati Pajang telah mengecek kehadiran mereka.
Pasewakan dimulai dengan adat istiadat keraton yang berlaku.
Mereka khusuk mendengarkan setiap sabda raja.
Kemudian seorang senopati Pajang menyampaikan bahwa ada empat kadipaten di bang wetan yang tidak mau menjadi bagian dari Pajang. Sudah beberapa kali kadipaten-kadipaten itu di ingatkan, namun tidak pernah mengindahkan. Oleh karena itu, keempat kadipaten itu harus diberi hukuman yang setimpal. Harus digempur dengan peperangan. Namun sang senopati itu belum mengatakan kadipaten mana saja yang dimaksud.
Selapan hari lagi, setiap kadipaten harus mengirimkan bregada prajurit.
“Biarlah nanti yang mengatur Kanjeng Adipati Pati, Ki Panjawi dan Kanjeng Adipati Madiun – Kanjeng Adipati Rangga Jumena…..!” Berkata senopati itu.
Kanjeng Adipati Penjawi dan Kanjeng Adipati Rangga Jumena yang kemudian mengambil alih pembicaraan.
Mereka tidak meragukan Ki Penjawi, karena dia adalah seperguruan dengan Ki Juru Martani, Ki Ageng Mataram dan bahkan dengan Kanjeng Sultan sendiri.
Sedangkan Kanjeng Adipati Rangga Jumena adalah kakak ipar dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya, putra dari Kanjeng Sultan Trenggana.
…………….
Bersambung…………
(@SUN-aryo)
** Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru