Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(652)
Mataram.
Seri Panembahan Senopati.
Demikian juga yang terjadi di Sangkalputung, guru orang bercambuk telah berangkat bersama dua muridnya ke Mataram juga. Guru yang telah sepuh itu juga mengenal Ki Gede Mataram serta Ki Juru Martani serta Ki Ageng Giring. Namun ia memang belum mengenal dekat dengan Raden Mas Danang Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama tersebut. Ia ingin agar kedua muridnya itu berkenalan lebih dekat dengan kerabat Mataram.
Ketika matahari telah semburat merah di ufuk timur, Kotagede telah menggeliat pula. Mereka telah memulai kehidupan seperti hari-hari sebelum Ki Ageng Mataram mangkat.
Pembangunan yang tertunda, kini telah dimulai lagi, terutama pembangunan pasar. Namun sebagian dari mereka masih berjaga dan merapikan di sekitar teratak pendapa.
Panembahan Senopati masih menyempatkan diri ke pemakaman sang ayah. Kesedihan masih terasa bagi Panembahan Senopati. Seorang ayah yang sangat ia hormati dan sayangi telah mendahului. Seorang ayah yang selalu memberi petuah dan dorongan kepada dirinya, kini telah tiada. Seorang ayah yang telah merintis babat hutan Alas Mentaok, namun setelah kini terlihat hasilnya, ia tak sempat ikut merasakannya.
Panembahan Senopati cukup lama merenung di depan pusara ayahnya itu.
Kemarin ketika suasana masih hiruk pikuk tidak sempat merenungkan tentang ayahnya itu. Namun kini setelah keadaan sepi dan hening, Panembahan Senopati berkesempatan untuk merenungkannya.
Panembahan Senopati merasa belum bisa mikul dhuwur mendhem jero kepada ayahnya itu.
Kadang muncul penyesalan, mengapa tidak sempat merawat ayahnya itu ketika sedang sakit. Semula Panembahan Senopati memang mengira bahwa sakitnya sang ayah adalah sakit biasa yang akan segera sembuh. Lagi pula di Mataram juga ada Juru sembuh yang mumpuni, termasuk Ki Juru Martani sendiri. Namun manusia memang terbatas, segala usaha sudah ditempuh, namun yang sakit tidak kunjung sembuh. Bahkan telah mendahuluinya.
Panembahan Senopati cukup lama bersedeku di depan pusara sang ayah.
Bahkan ketika sinar matahari telah mulai menyengat, ia masih tetap bertahan.
Ia membayangkan kembali perjalanan hidup bersama sang ayah beserta keluarga besarnya di Manahan. Dan ketika kemudian diangkat anak oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Bahkan kemudian diangkat sebagai muridnya. Terbayang pula ketika ia diajak ke Sela dan bertemu dengan Ki Juru Martani uwaknya, Ki Pemanahan ayahnya dan Ki Penjawi sahabat dan seperguruan Kanjeng Sultan Hadiwijaya sendiri. Dan sekarang Ki Penjawi telah menjadi seorang adipati di Pati.
Terbayang juga bagaimana sang ayah kurang berkenan kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya karena telatah Mentaok tidak segera diserahkan kepadanya seperti janjinya. Ki Pemanahan saat merasa, sepertinya Kanjeng Sultan Hadiwijaya kurang rela untuk melepaskan telatah Mentaok. Ketika kemudian seorang ulama besar mengingatkannya.
Namun setelah selang beberapa lama akhirnya telatah Mentaok di diserahkan pula.
Panembahan Senopati teringat, bagaimana ayahnya saat itu mengajak bedhol dhesa warga Sela untuk ikut babat hutan Alas Mentaok. Yang diikuti pula oleh banyak warga Pengging. Perjuangan Ki Pemanahan sungguh sangat gigih. Dan ketika kemudian memboyong hampir seluruh kerabat Manahan untuk menyusul ke Mentaok.
Beruntungnya, sang ayah bersahabat dengan Ki Demang Karanglo yang kemudian juga membantunya. Demikian pula dengan Ki Ageng Giring.
Panembahan Senopati hanya diam bersedeku di depan pusara sang ayah, namun angannya melayang ke masa-masa lalu.
Matahari semakin terasa menyengat. Namun Panembahan Senopati masih bertahan di pekuburan yang masih baru itu. Ketika kemudian ia mendengar orang bercakap-cakap menuju ke tempatnya. Namun demikian, ia tetap bergeming tak beranjak dari tempatnya.
Ia tidak tahu siapakah mereka yang datang.
…………….
Bersam.bung……….
(@SUN-aryo)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Kunjungi pula situs saya di Youtube. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook.