Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(775)
Mataram.
Yang lain pun menyahut; “Yaaa….., mereka telah menjadi tumbal…..!”
“Bukankah sejak kemarin kita telah mengalami hal-hal yang aneh….? Ada hujan abu yang tiba-tiba, ada nyala obor du bukit Ijo, ada suara klinting kuda kereta di tengah malam…..!” Sahut yang lain.
“Suara klinting kuda itu namanya lampor, datang dari laut Kidul pergi ke gunung Merapi….! Maka kemudian ada hujan abu dan yang mengerikan adalah banjir bandang di musim kemarau…..!” Sahut prajurit yang lain pula.
“Korban di pihak kita tidak terhitung, bukan karena pertempuran tetapi karena lawan yang tidak masuk di nalar…..!” Sambung kawannya.
“Kita belum melihat akibat banjir bandang yang terjadi di barak perkemahan di tepi kali Wedi…..!” Berkata prajurit yang lain.
“Kabarnya di sana tak kalah dahsyatnya. Semua terkubur, bahan makanan dan semua perlengkapan tersapu banjir bandang. Sungguh mengerikan…..!” Imbuh kawannya.
“Korban pun tak terhitung jumlahnya…..!” Sahut yang lain lagi.
“Kita harus segera meninggalkan neraka jahanam ini…..!” Umpat salah seorang prajurit.
“Ssssttt…..! Kau jangan mengumpat seperti itu, salah-salah kau bisa menjadi tumbal juga…..!” Kawannya mengingatkan.
Hujan abu telah reda, matahari telah merambat naik. Para prajurit yang telah menyadari kesalahannya segera berlarian ke arah timur, kembali ke Pajang. Mereka tidak mungkin untuk kembali ke barak yang porak poranda. Mereka pun khawatir jika tiba-tiba diterjang banjir susulan. Dan tidak mungkin pula untuk mengurusi kawan-kawannya yang menjadi korban. Mereka memilih untuk segera sejauh mungkin meninggalkan tempat musibah yang dahsyat itu.
Orang-orang pedukuhan yang kemarin mengelu-elu-kan pasukan yang besar dengan segala kebesarannya itu heran. Mengapa para prajurit itu berlarian tunggang langgang. Para prajurit berlarian dengan wajah-wajah cemas dan ketakutan. Tidak ada senyum dan tawa ria seperti ketika mereka berangkat.
Mereka banyak yang belum mendengar apa yang terjadi di sekitar Prambanan. Mereka memang merasakan hujan abu pula, namun hanya tipis. Mereka tidak tahu bahwa terjadi banjir bandang yang dahsyat di kali Wedi dan di kali Opak. Apalagi saat itu adalah musim kemarau.
Mereka, para prajurit yang berlarian itu kalang kabut tunggang langgang tak keruan.
Namun ada pula di antara para prajurit yang berteriak di kerumunan warga; “Banjir bandang di kali Opak dan kali Wedi…..!”
“Ooo….., banjir bandang….., banjir bandang…..!” Sahut orang-orang yang berkerumun itu.
Kabar banjir bandang di kali Opak dan kali Wedi pun segera menyebar dengan cepat.
Di pasar-pasar kabar banjir bandang itu cepat menyebar. Dengan cepat pula bumbu-bumbu tambahan cerita itu yang membuat kisahnya menjadi semakin dahsyat.
“Gunung Merapi murka….., laut Kidul minta tumbal….., kali Opak dan kali Wedi marah…..!” Berkata seseorang dengan penuh semangat.
“Candi Prambanan dan candi Baka juga minta tumbal…..!” Sahut yang lain.
“Itu kesalahan orang Pajang yang berani melawan Panembahan Senopati…..!” Sahut yang lain pula.
“Heee….., kabarnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang sakti mandraguna itu jatuh dari gajah hingga pingsan…..!” Berkata yang lain lagi.
“Oooh aku kemarin juga melihat Kanjeng Sultan naik gajah yang gagah perkasa…..!” Berkata yang lain lagi.
“Kanjeng Sultan kualat karena tidak hormat di candi Prambanan…..!” Sahut yang lain seakan memang demikian.
“Tetapi bagaimana mungkin pasukan yang besar dan sangat banyak itu sekarang lari kocar kacir…..?” Berkata yang lain lagi.
“Bagaimana nasib Yu Ginah yang ikut sebagai juru masak pasukan ya…..?” Berkata salah seorang bakul pasar.
Riuh rendah perbincangan di pasar yang kebetulan di tepi jalan yang kemarin juga dilalui oleh pasukan gabungan Pajang.
Dalam kenyataannya memang para prajurit berlarian ke arah timur tidak ada putus-putusnya.
……….
Bersambung……….
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram