Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(850)
Mataram.
Guru orang bercambuk dan kedua orang muridnya itu masih termangu di bekas keraton yang dahulu amat megah namun kini tinggal puing-puing. Bahkan segaran – kolam yang dahulu luas dan indah itu kini telah menjadi belukar. Para sentana kerajaan pun banyak yang mengungsi meninggalkan keraton demi keselamatan diri dan keluarga.
Bahkan para penghuninya pun ikut meniggalkan kotaraja yang dahulu ramai dan makmur itu. Mereka tersebar ke berbagai kadipaten di sekitarnya. Namun tak sedikit yang melarikan diri jauh dari kotaraja Majapahit. Bahkan banyak pula yang menyeberangi lautan agar tak terkejar oleh musuh. Tak sedikit pula yang kemudian mengungsi di pesisir pantai selatan yang harus melewati pegunungan Sewu. Di tempat seperti itu, mereka kecil kemungkinan akan terkejar oleh pasukan musuh pada saat itu.
Bahkan, Guru orang bercambuk yang kala itu masih remaja juga ikut melarikan diri. Dan kemudian ia tiba di sebuah padepokan olah kanuragan dan jayakasantikan yang mengandalkan cambuk sebagai senjata utamanya. Ia pun berguru di tempat itu. Dan sekarang senjata cambuk itu telah ia kuasai dan diwariskan kepada kedua orang muridnya.
Ia pun tersentak ketika teringat masa itu. Baru kali ini ia berkesempatan mengunjungi keraton Majapahit namun kini telah menjadi puing-puing.
“Kampung ini dahulu disebut Trowulan di tengah hutan Tarik…..!” Berkata Guru orang bercambuk itu kepada kedua orang muridnya.
“Apakah seperti kotaraja Mataram yang dahulu di tengah hutan Alas Mentaok itu, Guru…..?” Bertanya muridnya yang lebih tua.
“Yaaa….., kira-kira seperti itu…..!” Jawab sang guru.
“Apakah bangunan keraton ini musnah karena dibakar, Guru…..?” Bertanya muridnya yang tambun.
“Sepertinya tidak ada bekas kebakaran. Kemungkinan sekali dibongkar dan diangkut ke pusat pemerintahan yang baru…..!” Jawab Guru orang bercambuk itu mengira-ira. Namun demikian, sebagian besar bangunan yang terbuat dari batu bata masih tampak berdiri. Tetapi tidak sedikit pula batu bata itu yang hilang untuk bangunan rumah penghuni kota yang masih tinggal di bekas kotaraja Majapahit itu.
Namun ketika hari telah menjelang petang, Guru orang bercambuk dan kedua orang muridnya itu telah meninggalkan reruntuhan keraton yang dahulu amat megah itu.
Sesungguhnya Guru orang bercambuk itu prihatin mendapati keadaan seperti itu. Namun apa boleh buat, itulah yang terjadi.
Bulan di langit telah separo bulat. Artinya beberapa hari lagi, sebelum bulan purnama harus sudah sampai di luar kotaraja Madiun seperti yang telah direncanakan. Mereka akan bergabung dengan pasukan dari barak prajurit di Jatinom.
Sementara itu di sanggar di samping kaputren keraton Madiun, Senopati Retna Dumilah tetap tekun menggembleng diri. Ia merasa telah tuntas menguasai ilmu pengasihan mantram batin. Dan ia pun yakin akan mampu meluluhkan hati Panembahan Senopati jika nanti bertemu.
Kini ia sedang mematangkan ilmu kebalnya yang akan mampu melindungi diri dari senjata apa pun. Bahkan dalam puncak ilmunya, ilmu kebal itu bisa untuk melumpuhkan lawan karena mampu menimbulkan udara panas dari tubuhnya. Namun itu memerlukan laku yang berat dan waktu yang cukup lama.
Sedangkan ilmu meringankan tumbuhnya juga belum tuntas benar.
Mungkin kedua ilmu itu akan tuntas dalam waktu dua atau tiga bulan kedepan.
Setelah tuntas nanti, ia benar-benar akan membujuk para adipati di bang wetan. Dan jika perlu dengan kekerasan. Dan jika nanti telah bisa kembali menggalang kekuatan. Pasukan Madiun yang akan menyerbu ke Mataram.
Dalam pada itu, Senopati Retna Dumilah tidak menyadari bahwa pasukan gabungan dari Mataram telah bergerak menuju Madiun.
Pasukan dari Pati telah mesanggrah di tepi hutan di luar kotaraja Madiun. Demikian pula pasukan yang dipimpin oleh Senopati Wirasekti telah pula sampai di sebuah pinggir sungai yang sepi. Kedatangan kedua pasukan itu benar-benar tidak terendus oleh prajurit sandi dari Madiun.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.