Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(860)
Mataram.
Namun murid orang bercambuk itu menjawab dengan ayunan tangkai cambuk dengan cepat walau belum dilambari dengan puncak ilmunya. Lawannya yang adalah Ki Tumpak – salah satu guru dari Senopati Retna Dumilah itu meloncat mundur dan tak sempat menangkis dengan senjata sabuk kulitnya. Namun Ki Tumpak terkejut ketika kainnya sobek terkait oleh pangkal tangkai cambuk lawannya.
“Gila dan licik kau anak muda…..!” Geram Ki Tumpak.
“Ini peperangan, bukan tempat orang jagongan…..!” Seloroh murid orang bercambuk.
“Baik…..! Jangan menyesal atas kesombonganmu itu….!” Tukas Ki Tumpak yang marah.
Ki Tumpak tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya. Ia segera mengayunkan sabuk kulitnya yang lentur dan panjang itu dengan sangat cepat. Lawannya tidak menghindar dan tidak meloncat mundur. Namun ia hanya menunduk dan menyilangkan tangkai cambuknya di atas kepala. Sabuk kulit itu pun berdesing sejengkal di atasnya. Ki Tumpak yang yakin bahwa sabetan sabuk kulitnya akan menghantam lawannya yang masih muda itu sedikit terhuyung oleh kekuatannya sendiri. Ki Tumpak kembali terkejut ketika lawannya berhasil menyerempet kainnya dengan tendangan mendatar. Ki Tumpak kembali meloncat mundur. Ia masih beruntung karena tendangan lawannya tidak menghantam pahanya. Namun itu sudah merupakan peringatan bagi Ki Tumpak bahwa lawannya tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia kini telah bersiap sepenuhnya dengan senjatanya yang lain dari yang lain itu. Ia kembali menyerang lawannya dengan sasaran yang rendah. Dengan demikian lawannya tak akan sempat menunduk. Tetapi lawannya bukannya menunduk tetapi justru melenting tinggi. Sehingga sabetan sabuk itu hanya menerpa angin.
Namun yang lebih menjadi perhatian adalah pertempuran di sampingnya. Karena murid orang bercambuk yang bertubuh tambun telah meledakkan cambuknya yang memekakkan telinga. Ia sebelumnya telah berhasil mendesak lawannya yang hampir saja membuat lawannya terkapar. Namun tiba-tiba ia mendapat serangan dari dua orang prajurit lawan. Dan kini ia harus melawan tiga orang prajurit Madiun. Tak mungkin ia akan melawan dengan tangan kosong melawan tiga orang yang bersenjata pedang. Tiga orang lawannya pun berloncatan mundur untuk menghindari juntai cambuk yang berujung besi runcing. Tiga orang itu kemudian membagi diri dari arah yang berbeda. Cambuk pun kembali meledak-ledak mengejar sasaran. Namun lawannya yang lain tak tinggal diam. Mereka menyerang lawannya dengan sabetan pedang. Orang bercambuk bertubuh tambun itu harus mengalihkan serangannya ke lawan yang memburunya. Dua orang lawannya juga berloncatan mundur untuk menghindari ledakkan cambuk.
Kejadian serupa hampir selalu berulang sehingga orang bercambuk itu tak segera bisa melukai satu pun lawannya yang tiga orang prajurit itu.
Dari atas dahan pohon beringin, Guru orang bercambuk itu memperhatikan dua orang muridnya yang sedang bertempur. Ia melihat bahwa keduanya tidak mengalami kesulitan. Bahkan muridnya yang pertama mampu mengimbangi lawannya yang bersenjata sabuk kulit yang panjang. Bahkan muridnya itu belum melecutkan cambuknya.
Yang ia saksikan dari atas dahan pohon beringin adalah pasukan dari barak prajurit Jatinom yang berhasil mendesak pasukan lawan mundur ke belakang. Senopati barak prajurit itu sepertinya tidak mendapat lawan setimpal dari para senopati Madiun.
Adipati Rangga Jumena yang melihat pasukannya terdesak segera berlari menuju ke tempat itu bersama dua orang pengiringnya. Ia tak ingin pasukannya terdesak sampai baris belakang.
Namun Senopati Widarba dari Mataram sempat melihat kehadiran Kanjeng Adipati Rangga Jumena. Ia pun segera menghadang bersama seseorang senopati yang lain.
“Lekas bantu pasukan yang terdesak itu, biar aku hadapi Widarba yang menghadang itu….!” Perintah Kanjeng Adipati Rangga Jumena yang khawatir pasukan lawan akan sampai gerbang keraton.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.