Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(930)
Mataram.
Demikian pula kawula Pajang yang sempat menyaksikan sejak awal. Sungguh takjub dengan tontonan perang tanding yang sungguh tak terjangkau oleh nalar mereka. Mereka sebelumnya mengira bahwa ilmu jaya kawijayan hanya ada dalam dongeng. Namun setelah mereka menyaksikan sendiri, baru ia percaya adanya. Yang selalu bertanya adalah mereka yang hanya sempat menyaksikan di ujung akhir pertarungan tersebut. Mereka ingin tahu ceritanya dari mereka yang menyaksikan sejak awal.
“Aku terlambat menyaksikan karena harus merawat ayah mertua yang sakit…..!” Berkata salah seorang dari mereka.
“Itu perbuatan mulia…..! Jangan menyesal…..!” Sahut kawannya.
Mereka pun kemudian saling bercerita seakan ia yang paling tahu. Sedangkan yang datang terlambat hanya bisa mendengarkan. Namun kadang yang mereka dengar saling bertentangan.
Bahkan ketika mereka sampai di rumah pun mereka bercerita kepada yang tidak ikut menyaksikan.
“Wuooo….., cambuknya menggelegaar menggetarkan telinga dan dada…..!” Berkata salah seorang setelah sampai di rumah.
Ia pun kemudian dikerumuni oleh beberapa orang yang tidak ikut menyaksikan. Orang itu pun bercerita dengan penuh semangat, bahkan kadang dengan berlebihan.
Hal serupa terjadi hampir di seluruh sudut kotaraja Pajang. Hampir semua pula kagum terhadap dua orang murid orang bercambuk. Terutama kepada yang tinggi langsing.
Hari itu juga, setelah Kanjeng Panembahan Senopati beserta sepasukan prajurit Gagak Ireng dijamu oleh Adipati Gagak Baning yang didampingi oleh senopati Wirasekti dan dua orang murid orang bercambuk. Mereka sempat berbincang tentang berbagai hal terutama tentang masa depan Pajang dan Mataram pada umumnya.
Mereka kemudian minta diri untuk kembali ke Mataram.
“Kalian boleh menengok ke Jatinom atau ke Sangkal Putung jika kedaan benar-benar aman. Bahkan boleh pula berkunjung ke Mataram…..!” Berkata Panembahan Senopati kepada dua orang murid bercambuk sebelum meninggalkan Pajang.
“Daulat Kanjeng Panembahan…..!” Jawab keduanya hampir bersamaan.
Rombongan pasukan berkuda yang berpakaian serba hitam itu menarik perhatian di sepanjang perjalanan dari Pajang sampai Mataram.
Kehidupan pemerintahan di Pajang pun telah kembali tenang. Bahkan kini semakin aman setelah banyak orang yang tahu bahwa senopati pengaman keraton dan senopati pengawal adipati adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan para penjahat pun tak berani mengusik ketentraman kotaraja Pajang. Mereka tentu khawatir jika sampai dikejar oleh murid orang bercambuk.
Sedangkan kedudukan Adipati Gagak Baning pun semakin mapan. Wibawanya semakin berpengaruh. Sehingga tidak ada yang berani mengusik kedudukan Adipati Gagak Baning.
Sementara itu, setelah lawatan Kanjeng Panembahan Senopati dan pasukan Gagak Ireng ke Brang Wetan sampai tewasnya Rangga Keniten. Perhatian Panembahan Senopati di arahkan ke Brang Kulon. Brang Kulon yang selama ini tanpa gejolak. Dan sampai saat itu pun tidak ada gejolak yang berarti. Hubungan dengan Mataram selalu baik adanya. Namun Kanjeng Panembahan Senopati memerlukan berkunjung ke kadipaten-kadipaten di Brang Kulon untuk mempererat kemitraan.
Dalam pada itu, gejolak mulai muncul lagi di Brang Wetan. Terutama setelah mangkatnya Adipati Kediri. Kanjeng Panembahan Senopati mengangkat senopati Kediri sebagai pengganti Adipati Kediri. Senopati Kediri itu telah dianggap sebagai anak sendiri oleh Kanjeng Panembahan Senopati karena jasa-jasanya mengatasi gejolak di Kediri dan sekitarnya. Ia kemudian ditetapkan sebagai penguasa Kediri dengan gelar Senopati Kediri. Namun hal itu tidak berkenan di hati sang paman yang merasa berhak atas kuasa kadipaten Kediri. Dia adalah Tumenggung Pasegi dan sejawatnya Temenggung Gending. Keduanya kemudian mengungsi ke Surabaya bersama beberapa pengikutnya yang setia. Mereka tahu bahwa Adipati Surabaya juga belum bisa sepenuhnya menerima kekuasaan Mataram.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.