mTrah Prabu Brawijaya.
Seri 973
Mataram.
Baron Sekeber.
Sore hari itu hujan gerimis di tepi pantai itu cukup lama. Sehingga hampir tidak ada orang yang keluar dari rumah. Demikian pula penghuni rumah gubuk Mbok Iyem. Baron Sekeber telah bangun dan telah disediakan jagung godok dan wedang sere gula aren. Ia menikmati benar suguhan dari Mbok Iyem. Makan sore bagi Mbok Iyem dan Genduk Suli pun sama. Sore hampir petang, Genduk Suli telah menyalakan sentir minyak jarak di ajuk-ajuk. Nyala kecil sentir tersebut mampu menerangi seluruh ruangan yang tidak lebar itu.
Hari mulai petang ketika hujan semakin deras. Jika keadaan seperti itu, yang bisa mereka lakukan adalah tidur. Namun amben bambu tersebut hanya satu yang luasnya sedang.
“Aku dan Suli mau tidur…..!” Berkata Mbok Iyem sambil menelangkupkan kedua telapak tangannya di samping kepala yang dimiringkan.
Baron Sekeber bisa memahami maksud dari Mbok Iyem. Ia hanya mengangguk-angguk sambil tangannya terbuka tanda mempersilahkan.
“Nanti kalau kamu mau tidur di sebelah sana….!” Berkata Mbok Iyem sambil tangannya menuding ke arah Baron Sekeber dan kemudian ke ujung amben yang mepet gedek – dinding anyaman bambu.
Baron Sekeber tidak segera paham, namun setelah diulang beberapa kali, akhirnya paham juga.
“Heee…., satu dipan bertiga….?” Batin Baron Sekeber dengan bahasanya sendiri.
Namun demikian, Baron Sekeber mengangguk dan tersenyum. Karena itu satu-satunya yang bisa dilakukan, tidur bertiga di satu dipan amben bambu.
Genduk Suli sudah terlihat tertidur pulas sejak tadi. Sedangkan Mbok Iyem sepertinya belum tertidur.
Baron Sekeber yang sudah tidur siang cukup pulas, malam itu tidak segera mengantuk. Ia masih duduk di dingklik dengan bersandar pada tiang bambu. Di temaramnya sentir minyak jarak, ia sempat memperhatikan Genduk Suli.
“Cantik dan manis juga gadis ini….!” Batin Baron Sekeber dengan bahasanya sendiri. Sedangkan Mbok Iyem yang telah separuh baya pun masih terlihat cantik pula di mata Baron Sekeber.
“Heeeem…..!” Desah Baron Sekeber.
Namun pikiran Baron Sekeber kemudian melayang di negerinya, Spanyol. Di sana ia meninggalkan istri dan anak-anaknya serta kerabatnya, bahkan negerinya. Sebagai seorang bangsawan, ia tak kekurangan apapun di sana. Ia kemudian teringat pula kepada para pengikutnya dalam satu kapal yang hancur diterjang badai. Kapal besar dan mewah untuk ukuran saat itu. Kapal yang penuh perlengkapan perang dan persediaan untuk makan dan minum yang cukup untuk beberapa lama. Namun kapal itu telah karam dan para pengikutnya tidak ia ketahui nasibnya. Dan sekarang ia tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa. Ia pun belum tahu ia terdampar di pulau apa dan negeri apa. Sayup-sayup terdengar deburan ombak laut. Ia merasa beruntung karena tidak mengalami luka apa pun. Kegemaran berenang dan menyelam sejak kecil cukup membantu untuk bisa bertahan dan bisa sampai di daratan dengan selamat. Beruntung pula karena ia bertemu dengan dua orang wanita yang baik hati. Pandangan Baron Sekeber kembali tertuju kepada dua orang wanita yang telah menolongnya. Keduanya kini tergolek pulas di hadapnya. Beberapa saat Baron Sekeber memandangnya.
“Heeem….. cantik benar. Kulitnya pun mulus tidak seperti orang pedalaman pada umumnya…..!” Lamunan Baron Sekeber. “Juga tidak seperti para wanita dari benua hitam yang pernah ia kunjungi…..!” Batin Baron Sekeber.
Hujan telah reda dan malam telah menjelang larut malam. Namun Baron Sekeber belum mengantuk. Diserutupnya lagi wedang yang masih tersisa sampai habis.
“Jika aku tidur nanti, mesti berdempetan dengan Genduk Suli….!” Lamunan Baron Sekeber kemudian. Ya karena hanya tempat itu yang tersisa untuknya.
Lamunan Baron Sekeber kembali melayang ke negerinya, di rumahnya yang mewah. Jika malam seperti ini, ia pasti sedang bercengkrama dengan sang istri memadu asmara.
“Heeeem…..!” Desah Baron Sekeber sebagai seorang lelaki yang sehat dan bugar.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.