Prajurit sandi yang menamakan diri Lasa itu yang kemudian bertanya.
“Mengapa Paman mesti mengantar cikal klapa kopyor itu, Paman….?”
“Ini sebagai wujud terimakasih kami, karena istriku telah sembuh setelah berobat kepada Ki Tanu. Sedangkan Ki Tanu saat itu tidak mau dikasih imbalan atas jasanya…..!” kata orang yang membawa cikal klapa kopyor tersebut.
Lasa mengangguk-angguk, ia semakin yakin bahwa Ki Tanu adalah seorang yang luhur budi. Namun ia belum bisa mengetahui asal muasal dari Ki Tanu tersebut. Ki Tanu, walau dipanggil dengan sebutan Ki, namun usianya sesungguhnya belum separuh baya namun memiliki wibawa.
Mereka pun masih berbincang untuk beberapa saat sambil beristirahat. Si sakit pun sudah mau makan pisang, bekal yang dibawa sejak dari rumah.
Prajurit sandi telah mendapat tambahan pengertian tentang Ki Tanu. Namun ia tentu tidak ingin mengantar keluarga si sakit sampai rumahnya karena si sakit hanya kadang-kadang saja untuk digendong.
Prajurit sandi itu, setelah bertemu dengan rekan sejawatnya, ia ingin segera kembali ke keraton Demak Bintara. Ia ingin membuat laporan tentang kademangan Pengging dan juga tentang keberadaan seseorang yang bernama Ki Tanu dan putrinya, Gendhuk Jinten yang cantik jelita.
Ketika prajurit sandi itu sedang melaporkan tentang keadaan kademangan Pengging kepada atasannya seorang senopati telik sandi, di situ ada pula seorang pangeran.
“Heem….., suatu saat aku sendiri yang akan mengunjungi kademangan itu…..! Aku sangat tertarik dengan gadis-gadis cantik di negeri ini……!” kata pangeran yang berkulit putih bersih dan bermata agak sipit itu.
“Ooh silahkan, gusti Pangeran…..!” kata senopati telik sandi.
Pemerintah Demak Bintara pun tak banyak mengalami tantangan yang berarti, karena hampir semua ulama mendukung kekuasaan Raden Patah. Meskipun demikian, kadipaten-kadipaten di wilayah timur tidak sepenuhnya di bawah kendali negeri Demak Bintara. Walau demikian tidak ada pemberontakan yang terjadi.
Gancaring carita kata Ki Dalang – percepatan sebuah cerita.
Ki Tanu telah setiap malam bercerita tentang raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Sejak Kahuripan, Kediri, Singasari hingga para raja Majapahit yang masyur. Cerira tentang Ken Arok, tentang Raden Wijaya, tentang Prabu Hayam Wuruk dan terutama tentang Patih Gajah Mada yang gagah perkasa. Tentang Patih Gajah Mada yang konon mampu menyatukan negeri yang sangat luas, negeri-negeri antar pulau – Nusantara. Bahkan diceritakan pula tentang Prabu Jayabaya yang waskita, seakan mengerti apa yang akan terjadi.
Gendhuk Jinten sangat suka dengan kisah-kisah nenek moyang mereka. Diceritakan pula oleh Ki Tanu bahwa para raja besar tersebut mewariskan peninggalan berupa candi-candi yang sangat indah.
Ki Tanu sengaja bercerita panjang lebar tentang para raja dan dengan kebesarannya, karena mereka adalah nenek moyang secara langsung dari putrinya itu, yakni Gendhuk Jinten. Ki Tanu menceritakannya agar Gendhuk Jinten putrinya itu selalu ingat bahwa ia adalah salah satu waris trah Majapahit.
Ki Tanu dan Gendhuk Jinten telah kerasan tinggal di pondok. Tamu ke pondok Ki Tanu silih berganti yang sebagian besar adalah untuk minta tolong kesembuhan bagi orang yang sakit. Ki Tanu pun telah membuka ladang untuk ditanami berbagai tanaman sayuran dan tanaman pangan. Ki Tanu pun telah pula mengembangkan perikanan dengan tidak menyia-nyiakan air yang melimpah. Bahkan, Ki Tanu memelihara kambing pula. Yang ia harapkan dari kambing itu adalah pupuknya. Pakan kambing sangat melimpah di sekitar pondok itu, sayang jika hanya menjadi rumput liar. Bagi Ki Tanu, tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak dimanfaatkan. Air kali dimanfaatkan untuk perikanan, rerumputan untuk pakan ternak, ternak menghasilkan pupuk, segala tetumbuhan pun tumbuh subur di pekarangan Ki Tanu. Aneka pohon buah-buahan sudah mulai tumbuh subur di sekitar pondok Ki Tanu. Gendhuk Jinten walau berasal dari dalam keraton, namun sangat senang tinggal di pondok itu.
………..
Bersambung………..
Petuah Simbah: “Tak ada sejengkal tanah pun yang tidak dimanfaatkan.”
(@SUN)