Penerus Trah Prabu Brawijaya-Gendhuk Jinten-Part#32

Ibu si sakit kagum terhadap putri Ki Tanu tersebut, walau belum dewasa namun sudah pinter dan rajin serta genap unggah-ungguhnya. Putri Ki Tanu itu pun tidak canggung terhadap para tamu yang sama sekali belum dikenal. Ia ramah dan supel.
“Putri cantik sekali dan pinter, siapa namanya, Ndhuk…..?” tanya ibu si sakit.
“Dalem Jinten, Bibi…..!” jawab Gendhuk Jinten.
Yang terkejut dan heran justru prajurit sandi yang mengenalkan diri dengan nama Lasa itu. Betapa tidak, gadis gunung maupun gadis dusun tidak akan mungkin menyebutkan dirinya dengan kata ‘dalem’ – itu adalah sebutan untuk orang-orang di dalam keraton, paling tidak untuk sebuah kadipaten. Prajurit sandi itu memperhatikan gadis itu, walau tidak semata-mata, memang seorang gadis yang cantik dengan mata kocak blalak-blalak. Kulitnya pun halus, tak sepantasnya sebagai seorang putri petani. Namun hal itu hanya disimpan di dalam hatinya.
Lasa memang lebih banyak diam, ia seakan seorang desa yang pemalu, namun ia sesungguhnya penuh perhatian terhadap hal-hal yang dianggap berharga menurut kacamata seorang prajurit sandi. Ia pun kagum ketika memperhatikan Ki Tanu, dadanya bidang, otot-ototnya terlihat kuat. Itu tentu bukan otot bentukan seorang petani, namun pasti karena gemblengan olah kanuragan yang keras. Pantas jika Gondel lurahe keamanan pasar pingsan sekali pukul. Menilik sorot matanya yang tajam namun teduh, Ki Tanu pasti seorang yang memiliki ilmu jayakawijayan tinggi dengan kepercayaan diri yang tinggi pula. Kulit tubuhnya yang halus juga menandakan bahwa Ki Tanu itu adalah bukan seorang petani yang sesungguhnya. Namun prajurit sandi itu memang tak ingin membuat permasalahan dengan Ki Tanu. Ia hanya ingin tahu banyak tentang Ki Tanu itu. Tetapi ia tak ingin banyak bertanya langsung kepada Ki Tanu, ia akan banyak bertanya kepada Mbok bakul di warung. Tentu Mbok bakul itu tahu banyak tentang banyak hal.

Setelah berbincang beberapa saat, ayah si sakit kemudian mohon pamit. Jika terlalu lama pasti akan menggangu Ki Tanu dalam menjalankan kegiatannya di pondoknya yang baru. Ayah si sakit itu pun kemudian menyerahkan uang benggol kepada Ki Tanu.
“Ini hanya sekedarnya, Ki Tanu…..!” kata ayah si sakit.
“Ooh maaf, Paman….! kami tidak menerima imbalan untuk membantu sesama kami…..!” kata Ki Tanu lugas namun halus.
“Te…te…tapi… Ki…..!” kata ayah si sakit ingin memaksa.
“Sudahlah, Paman…..! uang itu bisa untuk keperluan paman dan bibi lainnya….!” lanjut Ki Tanu.
“Terimakasih sekali Ki Tanu…..! Semoga Gusti melimpahkan kurnia kepada Ki Tanu dan putri Gendhuk Jinten….!” kata ayah si sakit.
“Kita saling memohon kepada-Nya, Paman…..!” jawab Ki Tanu.

Mereka berempatpun kemudian melangkah meninggalkan pondok Ki Tanu.
“Biarlah anak ini saya gendong kembali, Kakang…..!” kata prajurit sandi yang mengaku bernama Lasa itu.
“Aku ingin mencoba berjalan sendiri, Ibu…..!” kata anak itu yang mengejutkan mereka.
Ibunya pun kemudian meraba kening anaknya itu yang ternyata sudah hangat, tidak dingin dan pucat seperti ketika mereka datang.
“Ooh…. ngger….! tubuhmu sekarang sudah hangat….!” seru ibunya yang kemudian berlari mendatangi Ki Tanu kembali sambil bersujud.
“Terimakasih kembali, Ki Tanu….!”
“Ya Bibi…..! tetapi jangan bersimpuh seperti ini…..!” cegah Ki Tanu.
Ibu si anak itu kemudian bangkit berdiri dengan mata berkaca-kaca penuh haru.

Namun akhirnya mereka pun meninggalkan pondok Ki Tanu dengan langkah pelan namun diliputi kegembiraan.
Prajurit sandi itu pun ikut terharu seperti halnya ayah dan ibu si sakit. Dan kesan yang ia dapatkan dan yakini, bahwa Ki Tanu adalah seorang yang luhur budi. Tidak sepantasnya jika Ki Tanu itu menjadi musuh negeri.

Belum terlalu jauh mereka meninggalkan pondok Ki Tanu, mereka berempat berpapasan dengan seseorang yang memikul lima cikal bibit kelapa.
“Akan dijual kepada Ki Tanu, Kang….?” sapa Lasa yang tahu jalan itu hanya menuju ke pondok Ki Tanu.
“Oh tidak kisanak….! Ini bibit klapa kopyor yang jarang orang memiliki. Bibit ini akan aku berikan kepada Ki Tanu….!” kata orang itu.
Mereka pun kemudian berbincang di tepi jalan itu.
…………..
Bersambung……..

Petuah Simbah: “Upah perbuatan baik yang tulus, sering tidak terduga datangnya.”
(@SUN)

St. Sunaryo

Pensiunan pegawai PT Telkom Indonesia. Sekarang bertempat tinggal di Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi website https://stsunaryo.com , ada yang baru setiap hari.

Learn More →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *