Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)
(245)
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Jaka Tingkir.
Seri Arya Penangsang.
Ki Patih Mentahun sangat mendukung rencana Adipati Harya Penangsang untuk membalaskan dendam atas gugurnya Pangeran Sekar Seda Lepen, ayah dari Adipati Harya Penangsang.
“Bapa Sunan Kudus juga mendukung rencanaku untuk membunuh Prawoto…..!” Kata Adipati Harya Penangsang kepada Ki Patih Mentahun.
“Sebaiknya Anakmas Adipati tidak perlu dengan tangan sendiri untuk membunuh Sunan Prawoto…..!” Kata Ki Patih Mentahun.
“Apa maksud Paman…..?” bertanya Adipati Harya Penangsang.
“Anakmas Adipati tentu ingat Rungkud, perampok kejam yang pernah Anakmas ringkus. Ia sesungguhnya memiliki bekal yang cukup, namun dihadapkan Anakmas ia tak berkutik. Ia bisa dibujuk untuk melaksanakan balas dendam itu dengan janji-janji……!” Berkata Ki Patih Mentahun.
Patih Mentahun adalah seorang yang berilmu tinggi pula dan menjadi kepercayaan dari Adipati Harya Penangsang.
“Baiklah…..! Rungkud aku serahkan kepada Paman Patih Mentahun……!” Berkata Adipati Harya Penangsang.
Patih Mentahun tahu bahwa Sunan Prawoto tidak setangguh ayahnya, Sultan Trenggana dalam ilmu olah kanuragan maupun olah kesaktian. Sunan Prawoto lebih mengutamakan mempelajari ilmu keagamaan. Bahkan, menurut Kanjeng Sunan Kudus yang pernah disampaikan kepada Adipati Harya Penangsang bahwa Sunan Prawoto juga kurang layak sebagai seorang raja besar yang membawahi hampir seluruh pulau ini.
Pagi hari sebelum terang tanah, Jaka Tingkir telah keluar dari ksatrian untuk menuju ke puncak Gunung Merapi. Ia sudah beberapa kali mengunjungi tempat itu, tempat di mana sang paman membuat pondok sederhana yang lebih banyak terbuat dari batu. Tempat itu digunakan oleh Ki Kebo Kanigara untuk bertapa. Jaka Tingkir sendiri juga pernah bertapa di tempat itu.
Dalam keberangkatannya itu, Jaka Tingkir tak ingin mampir-mampir. Meskipun terbersit untuk mampir ke Rawapening untuk mengajak serta Ki Wuragil.
“Ketika kembali saja aku akan singgah di Rawapening…….!” Batin Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir tertegun ketika melihat bahwa semakin mendekati gunung Merapi, abu gunung semakin tebal. Bahkan tak hampir semua tetumbuhan terlihat menguning kering. Rumput-rumput hampir semua tertutup abu gunung Merapi. Namun demikian, Jaka Tingkir masih bisa mengenali jalan yang harus dilalui. Pohon-pohon pun masih berdiri tegak. Sepertinya, setelah hujan abu itu telah beberapa kali turun hujan sehingga debu-debu itu tidak berhamburan tertiup angin.
Kuda tunggangan Jaka Tingkir itu sempat beristirahat dan minum sisa-sisa air hujan. Jaka Tingkir telah menyiapkan pakan kuda yang dibawa dari keraton yang memang banyak tersidia di keraton. Pakan kuda berupa campuran dedak bekatuk, tumbukan jagung dan rajangan dedaunan. Namun demikian, Jaka Tingkir tidak mungkin naik kuda sampai di puncak gunung. Kuda diikatkannya di bawah pohon yang daunnya sudah rontok semua.
Jaka Tingkir tertegun ketika menyaksikan lahar gunung Merapi masih mengalir disertai kepulan asap. Pemandangan seperti itu sesungguhnya hal biasa bagi Jaka Tingkir karena puncak Merapi terlihat dari Tingkir tempat tinggalnya sejak kecil. Yang membuat Jaka Tingkir cemas adalah; jangan-jangan ketika gunung Merapi sedang memuntahkan lahar, saat itu sang paman sedang bersamadi. Hal itu membuat langkah Jaka Tingkir semakin cepat. Ia yang berilmu tinggi tak banyak mengalami kesulitan dengan berloncatan di antara batu-batu besar.
Jaka Tingkir berdebar-debar ketika melihat pondok tempat bersamadi sang paman sebagian besar tertutup debu, walau sebagian telah terbawa air hujan. Namun demikian, di dalam pondok batu itu debu hanya tipis saja.
“Pamaaan……..!” Pekik Jaka Tingkir menyaksikan sang paman, Ki Kebo Kanigara tergeletak di atas batu tempat ia biasa bersamadi.
Jaka Tingkir yang gagah perkasa itu meneteskan air mata melihat jasad pamannya yang mengering. Jaka Tingkir menduga, awan panas ‘wedus gembel’ sempat menerjang tempat itu.
Beberapa saat Jaka Tingkir menangis di samping jasad sang paman. Seorang paman yang sangat ia hormati dan kasihi. Sesungguhnya ia ingin bercerita banyak kepada pamannya itu tentang dirinya yang telah berhasil menjadi bagian dari kerabat keraton. Keberhasilan itu tak lepas dari jasa sang paman.
…………….
Bersambung…………
Petuah Simbah: “Walau berupa jasad, namun kita wajib menaruh hormat terhadap raga seorang anak manusia.”
(@SUN).
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.