Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)
(384)
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Langit cerah tak tampak awan, bulan sabit melayang di ufuk barat, sebentar lagi akan menyusul sang mentari tenggelam di haribaan. Bintang-bintang di langit berkerlap-kerlip menghiasi angkasa. Lintang Gubuk Penceng terlihat jelas, sebagai tanda arah selatan. Lintang Panjer Sore tampak lebih terang dari bintang-bintang yang lain. Lintang Panjer Sore sebagai tanda arah timur. Dengan berpatokan kedua bintang itu, seorang pengembara di malam hari tidak akan kehilangan arah. Raden Mas Danang Sutawijaya duduk termenung menikmati indahnya malam.
Gemericik air sungai Opak terdengar merdu diiringi suara derik jengkerik dan belalang. Semilir angin malam terasa lebih kencang di atas bukit itu. Namun Raden Mas Danang Sutawijaya tak merasa kedinginan.
Ia menatap ke seberang sungai Opak. Sejauh mata memandang hanya terlihat pepatnya hutan, itulah Alas Mentaok. Konon saat itu tengah hutan Alas Mentaok belum dijamah oleh manusia. Di sisi utara memang sudah ada jalan yang menghubungkan Prambanan sampai ke pegunungan Menoreh di seberang kali Progo. Raden Mas Danang Sutawijaya tergelitik untuk mencoba lewat jalan itu di kesempatan lain. Kali ini ia ingin menyusur kali Opak sampai di muara.
Menurut cerita Ki Pemanahan ayahnya, kali Opak itu nanti akan bertemu dengan kali Oya. Kali Oya yang hilirnya dari pegunungan Sewu.
Raden Mas Danang Sutawijaya teringat akan cerita ayahnya bahwa di pegunungan Sewu ada saudara tunggal guru dengan Ki Pemanahan. Dia adalah Ki Ageng Giring. Terpikir dalam angan Raden Mas Danang Sutawijaya bahwa suatu saat akan berkunjung ke tempat Ki Ageng Giring itu.
Raden Mas Danang Sutawijaya juga teringat cerita dari ayahnya bahwa di tepi kali Progo di sisi timur telah ada sebuah kademangan yang belum pernah tersentuh oleh pemerintahan manapun, bahkan sejak zaman Majapahit, Demak dan sampai sekarang oleh pemerintahan Pajang. Tanah itu bagai tanah perdikan yang merdika yang tidak terikat dengan negeri manapun. Letak tanah itu memang sulit dijangkau oleh pasukan prajurit dari manapun. Sebelah selatan dibatasi oleh Laut Kidul, di sebelah barat dibatasi oleh kali Progo yang airnya deras dan sungainya lebar, di sebelah utara dibatasi oleh Alas Mentaok, sedangkan di sebelah timur oleh sungai Opak dan sungai Oya. Terlalu berat medan yang harus ditempuh jika sepasukan prajurit akan menyerbu tanah itu. Namun demikian, konon menurut cerita sang ayah, Raden Mas Danang Sutawijaya tahu bahwa tanah itu dipimpin oleh seseorang yang sakti mandraguna pula. Penguasa tanah itu adalah Ki Ageng Mangir. Tanah itu pun kemudian juga disebut telatah Mangir Wanabaya.
Beberapa saat Raden Mas Danang Sutawijaya melamun. Tak terasa telah hampir tengah malam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu yang memecah kesunyian. “Guuuweegh…… guuuweegh….., guuuweegh……!” yang kemudian disahut burung hantu di arah lain. Karena suaranya itu, burung hantu juga disebut burung guweg.
Sejenak kemudian, Raden Mas Danang Sutawijaya sedikit terkejut karena begitu dekat terbang burung kulik yang suaranya melengking.
“Kuliiik…… kuliiik…. kuliiik…. kuliiik…..!”
Jika bukan seorang pemberani dan berhati baja tentu sudah ketakutan di atas bukit Bangkel seorang diri di tengah malam. Namun bagi Raden Mas Danang Sutawijaya tidak ada yang ditakuti.
Namun demikian, Raden Mas Danang Sutawijaya akhirnya merasa mengantuk pula. Ia ingin tidur di alam terbuka itu, tidak di dalam gubuk. Ia mendapatkan sebatang pohon yang bercabang cukup besar. Ia ingin tidur di cabang pohon itu. Ia kemudian menempatkan diri di sebuah cabang sehingga aman dan tak mungkin terjatuh.
Raden Mas Danang Sutawijaya benar-benar ingin beristirahat.
Di saat ia tidur ayam, antara sadar dan tidak, seperti di dalam mimpi ia mendengar suara gemuruh dari arah hilir sungai Opak. Mula-mula sayup-sayup namun semakin lama semakin bergemuruh, kemerosak.
……………..
(@SUN)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
**Ada yang baru setiap hari.
Matur nuwun pak Maswo, lanjutkan seri 385