Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)
(389)
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Ki Reja juga meyakini bahwa Jebeng yang mengaku dari Granting itu adalah Jebeng Sutawijaya putra Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
“Tak mengira Pak-ne, rumah kita yang reot ini dikunjungi oleh putra Kanjeng Sultan dari Pajang…..!” Berkata Mbok Reja. “Tetapi Pak-ne itu yang kebangetan, mosok putra Kanjeng Sultan disuruh mikul legen….!” Lanjut Mbok Reja.
“Beliau yang minta, Mbok-ne, bukan aku yang menyuruh…..!” Dalih Ki Reja.
“Akan aku susul ke gunung Bangkel, pasti beliau masih di sana…..!” Berkata anak Ki Reja.
Anak Ki Reja kemudian berlari menuju ke gunung Bangkel yang tidak terlalu tinggi itu. Ki Reja juga mengikuti dari belakang.
Namun kedua orang bapak anak itu tidak menemukan seorang pun di atas gunung Bangkel. Bahkan ketika mereka kemudian memanggil-manggil namanya pun tidak ada yang menyahut.
“Gusti Pangeran…., Gusti Pangeran…..!” Kedua orang memanggil-manggil. Namun tidak ada yang menyahut.
Sementara itu, Raden Mas Danang Sutawijaya telah meninggalkan gunung Bangkel. Ia kemudian menyusur mengikuti arus sungai Opak. Ia ingin tahu ujung hilir dari sungai Opak itu. Air yang tidak begitu deras memudahkan Raden Mas Danang Sutawijaya untuk menyusur sungai.
Cerita tentang lampor dan yang ia dengar dan lihat sendiri membuat Raden Mas Danang Sutawijaya untuk membuktikan di ujung sungai. Ia berharap akan bisa menyaksikan keraton kidul seperti yang diceritakan oleh Ki Reja.
Sementara itu, di tempat lain Ki Pemanahan semakin kecewa kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Sudah beberapa kali pisowanan, namun Kanjeng Sultan Hadiwijaya tidak pernah menyinggung soal tanah Mentaok. Dan sepertinya Kanjeng Sultan ingin melupakan janji yang pernah dikatakan. Jika demikian bukan lagi sabda pandita ratu datan wola-wali, tetapi sabda yang diingkari.
“Kakang, aku ingin untuk sementara waktu meninggalkan Pajang. Aku ingin nenepi ke Kembanglampir dan akan mengunjungi Kakang Ki Ageng Giring yang sudah lama tidak aku kunjungi…!” Berkata Ki Pemanahan kepada Ki Juru Martani dalam suatu kesempatan.
“Heeem….., aku paham dengan perasaan Adi. Pergilah agar hatimu tenang, namun setelah itu kembalilah, Adi…..!” Berkata Ki Juru Martani.
“Aku tidak ingin berpamitan kepada Kanjeng Sultan. Hanya titip pesan saja bahwa aku ke Kembanglampir…..!” Berkata Ki Pemanahan.
Ki Juru Martani tidak menahan kepergian adik iparnya itu. Ia memahami perasaannya.
Tentu Ki Pemanahan ingin segera mendapat kekancingan untuk menggarap Alas Mentaok walau masih berupa hutan belantara.
Ki Pemanahan pun tahu bahwa putra kandungnya, Raden Mas Danang Sutawijaya sedang meninggalkan keraton pula. Namun ia juga tidak tahu kemana perginya anaknya itu.
Hari itu Ki Pemanahan benar-benar telah meninggalkan keraton Pajang. Ia pergi dengan berjalan kaki. Ia telah pergi ke arah matahari terbenam. Ki Pemanahan menyamar sebagai orang kebanyakan yang bepergian jauh. Dengan bekal secukupnya ia tempuh perjalanan itu. Pertapaan Kembanglampir yang akan ia tuju. Baru kemudian ia akan mengunjungi saudara seperguruannya. Saudara seperguruan yang umurnya sedikit lebih tua. Dialah Ki Ageng Giring di pegunungan Sewu. Ki Ageng Giring memang tidak ikut ke Sela dan menjadi bagian dari murid Ki Ageng Sela saat itu, namun ia tetap menetap bersama istri dan anak-anaknya di pegunungan Sewu itu. Ki Pemanahan ingin berbagi cerita dengan Ki Ageng Giring yang telah dianggap sebagai saudaranya sendiri itu. Ki Pemanahan berjalan tidak tergesa-gesa. Bahkan ia mencoba menikmati perjalanan seperti dahulu ketika ia masih muda yang senang mengembara.
Sementara itu, di pegunungan Sewu, Ki Ageng Giring hidup sebagai seorang petani biasa yang menggarap tegal sawah. Ia hidup di rumah itu sekarang hanya dengan Nyi Ageng Giring. Anak-anaknya telah hidup berkeluarga di lain tempat. Hanya kadang-kadang saja anaknya itu mengunjungi orang tuanya.
…………
Bersambung………..
(@SUN)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Matur nuwun mas wo…
. salam sukses selalu