. .
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(548)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Namun sebagian besar dari mereka tetap bersyukur kerana peperangan tidak terjadi. Bukan karena mereka takut, tetapi bagi mereka, batalnya peperangan adalah pilihan terbaik. Dalam peperangan, membunuh atau dibunuh tak akan terhindarkan. Membunuh dengan dalih apapun tetap menghilangkan nyawa orang yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sedangkan dibunuh adalah hilangnya nyawa yang tak mungkin kembali lagi. Belum lagi jika berakibat cacat tetap yang tidak bisa dipulihkan. Mata buta, hidung perung, tangan kutung, kaki buntung bisa saja terjadi menimpa siapapun.
Penderitaan mereka tentu sepanjang sisa hidupnya.
Walau ketika berangkat dielu-elukan dengan gegap gempita, namun jika pulang dengan cacat tubuh akan ia tanggung sendiri.
Bagaimanapun juga orang tua, istri, anak dan sanak-saudara pasti menunggu dengan cemas. Jika pulang dengan selamat tentu akan disambut dengan suka cita.
“Batalnya perang bukan berarti Pajang kalah perang, namun sebaliknya. Tanpa dengan peperangan, beberapa adipati bang wetan tetap setia kepada Pajang. Bahkan terjalin kekerabatan yang semakin erat…..!” Berkata salah seorang senopati kepada para prajuritnya yang masih bimbang.
Memang masih ada beberapa kadipaten yang masih belum mau setia kepada Pajang, tetapi para petinggi negeri tentu sudah memiliki cara untuk mengatasinya.
Namun suasana yang nampak adalah suasana gembira dan suka cita di seluruh pasukan.
Bahkan kemudian ada yang berteriak; “Pajang tetap jaya….., Pajang tetap jaya……, Pajang tetap jaya…..!” Yang kemudian di sahut bersahut-sahutan di seluruh pasukan.
Pasukan wanita yang di dapur belum mendengar tentang dibatalkannya perang di perbatasan Lamongan itu. Mereka heran ketika mendengar teriakan tentang Pajang yang tetap jaya.
“Ada apa Yu….? Kok di luar gegap gempita…..?” Bertanya salah seorang wanita yang juga sebagai seorang prajurit.
“Kita juga sama-sama belum tahu Jeng…..!” Jawab wanita itu.
Namun suara sorai semakin riuh.
“Aku mau tahu ada apa itu, boleh Yu….?” Bertanya wanita yang sebelumnya.
“Boleh…..! Biar kita semua tahu……!” Jawab wanita itu.
Baru keluar dari dapur, wanita itu sudah mendengar bahwa perang tidak akan terjadi.
“Apa musuh telah menyerah…..?” Bertanya wanita yang lain.
“Bukan menyerah, dan tidak ada kalah menang, tetapi telah terjadi kesepakatan damai Pajang dengan para adipati bang wetan…..!” Jawab seorang senopati yang memang akan memberi tahu ke dapur itu.
“Ooh syukurlah…..! Ketika kita pulang nanti tidak ada tangis pilu kehilangan sanak saudaranya…..!” Berkata seorang wanita yang lain.
Di pagi buta itu kegembiraan menyelimuti seluruh batak pasukan Pajang. Para prajurit yang dari jauh seperti Tegal, Pekalongan, Brebes, Banyumas tidak menyesal dengan ujungnya perang. Mereka njustru bersuka cita.
Setelah mereka mendengar sedikit cerita, mengapa perang urung terjadi, mereka memuji kewibawaan, kebijakan dan kegigihan Kanjeng Sunan Mrapen.
“Sebagian besar para adipati adalah putra murid dari Kanjeng Sunan Mrapen sendiri……!” Berkata seorang prajurit yang sedikit tahu.
“Dengan demikian, ribuan nyawa terselamatkan…..!” Berkata seorang prajurit yang lain.
“Dan istriku tidak jadi menjadi janda…..!” Kelakar prajurit yang lain.
“Ha ha ha……, jangan khawatir. Jika benar menjadi janda, akan aku jadikan istriku yang ketiga…..!” Canda kawannya.
“Bukankah istrimu sudah empat…..?” Sahut yang lain.
“Ha ha ha ha……, itu yang ketahuan…..!” Sahut kawan lainnya.
“Lhaaah……, jika kau yang tewas, berapa janda yang kau tinggalkan…..?” Gurau kawan lainnya.
Mereka pun tertawa lepas dengan gurauan mereka sendiri.
“Beruntung sekali perang tidak terjadi. Istriku sedang mengandung ketika aku tinggalkan…..!” Seloroh prajurit yang lain.
Mereka masih bergurau sambil menunggu perintah, apakah bisa kembali hari itu juga.
……………
Bersambung…………
(@SUN)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.