Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(655)
Mataram.
Seri Panembahan Senopati.
Mereka yang menyertai Ki Singa Dangsa dan mereka yang menyertai Ki Sura Patil pun bisa berbincang akrab. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di masa lalu. Mereka adalah dua perguruan yang selalu bermusuhan, bahkan musuh bebuyutan. Jika mereka bertemu pasti terjadi perkelahian, bahkan tawuran. Namun kini mereka telah berdamai berkat campur tangan Raden Mas Danang Sutawijaya saat itu. Saat itu mereka mengira bahwa gerombolannya adalah gerombolan yang tak terkalahkan. Namun guru mereka dengan mudah dilumpuhkan oleh Raden Mas Danang Sutawijaya.
Raden Mas Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama masih menunggu mereka yang berada di pemakaman itu. Mereka masih berbincang tentang berbagai hal.
Selagi mereka berbincang, datang lagi berombongan orang-orang ke tanah pemakaman yang masih baru itu. Panembahan Senopati segera menyongsong mereka yang baru datang. Ia segera mengenali bahwa yang datang adalah rombongan dari Kaliangkrik.
“Maaf Raden, kami tadi ke pendapa terlebih dahulu, namun diberitahu bahwa Raden ada di pemakaman dan kami menyusul ke tempat ini…..!” Berkata salah seorang dari rombongan dari Kaliangkrik.
“Kami juga minta maaf, kalian aku temui di tempat ini…..! Kebetulan rombongan dari Bukit Tidar dan dari Lembah Merapi Merbabu masih ada di sini juga….!” Jawab Panembahan Senopati.
“Oooh……, Ki Singa Dangsa dan Ki Sura Patil…..?” Bertanya orang dari Kaliangkrik.
“Benar…..! Mereka sedang berbincang…..!” Jawab Panembahan Senopati.
“Baiklah….., kami temui mereka terlebih dahulu mumpung belum kembali…..!” Berkata orang dari Kaliangkrik.
Orang-orang dari Kaliangkrik kemudian bergabung dengan orang-orang dari Bukit Tidar dan dari Lembah Merapi Merbabu. Mereka berbincang dengan akrab, sesuatu yang mustahil akan terjadi di masa lalu. Mereka adalah perguruan-perguruan yang selalu bersaing dan bermusuhan. Namun kini telah berdamai dan bisa berbincang dengan akrab.
Yang mereka rasakan hampir sama, dengan berdamai membuat mereka lebih tenang tanpa kekuatiran. Sebaliknya, ketika masih bermusuhan kekuatiran selalu menghantuinya.
Panembahan Senopati merasa senang karena bisa menjadi sarana berdamai-nya perguruan-perguruan yang selama ini bermusuhan. Lebih membanggakan karena mereka mau berbelasungkawa atas mangkatnya sang ayah, Ki Ageng Mataram. Harapan dari Panembahan Senopati, semoga ini juga merupakan pertanda baik hubungan Mataram dengan tetangga di sekitarnya.
Matahari telah hampir di puncak cakrawala, namun yang berdatangan ke tanah makam masih silih berganti. Panembahan Senopati mulai sedikit gelisah. Semestinya ia sudah berangkat ke pantai selatan melaui sungai Gajah Wong untuk menepati janji. Janji yang selalu ia tepati setiap menjelang bulan purnama. Namun ia juga tidak sampai hati untuk meninggalkan tamu yang berdatangan.
Panembahan Senopati terkejut ketika melihat dua orang anak muda yang telah ia kenal datang bersama dengan seorang yang telah lebih dari separuh baya yang diantar oleh Ki Ageng Giring.
Mereka adalah dua orang bercambuk beserta gurunya.
“Terimakasih Kiai dan Kisanak berdua yang telah berkenan berkunjung ke pemakaman ini…..!” Berkata Panembahan Senopati dengan hormat.
“Kami ikut berbelasungkawa atas mangkatnya Ki Ageng Mataram, Panembahan…..!” Berkata guru orang bercambuk itu.
Mereka kemudian diantar ke pusara Ki Ageng Mataram.
Sementara kehadiran tiga orang bersama Ki Ageng Giring itu menarik perhatian mereka yang telah datang terlebih dahulu.
“Heee….., aku pernah melihat orang tua itu. Ia seangkatan dengan Bapa guruku…..!” Berkata Ki Singa Dangsa.
“Kalau tidak keliru ia adalah orang bercambuk yang kondang itu…..!” Berkata Ki Sura Patil.
“Dua orang anak muda itu pasti murid-muridnya. Mereka pernah mengembara sampai di Sawangan…..!” Imbuh Ki Sura Patil.
…………….
Bersambung……….
(@SUN-aryo)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Kunjungi pula situs saya di Youtube. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook.