Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(660)
Mataram.
Seri Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati sudah tidak terkejut lagi. Ia tahu bahwa yang datang adalah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda putih. Kuda-kuda yang seakan berlari di atas ombak lautan. Sedangkan kereta menggelinding di atas air. Kaki-kaki kuda yang di setiap pergelangannya diikat dua untai kelinting – genta kecil sehingga suaranya bergerincing mengimbangi deru ombak. Kereta kencana itu melaju tanpa kusir yang kemudian berhenti tepat di samping wanita cantik jelita itu. Ombak yang sebelumnya menggulung- gulung itu reda seketika. Air pun tenang, bahkan angin laut yang sebelumnya bertiup kencang kini menjadi semilir sepoi-sepoi.
Bulan purnama melayang di puncak cakrawala menambah indahnya malam.
“Marilah Panembahan….., kita naik kereta ini……!” Pinta wanita cantik jelita itu.
“Marilah…..!” Jawab Panembahan Senopati singkat.
Kedua pria wanita yang tampan dan gagah serta wanita yang cantik jelita itu segera naik ke kereta kencana.
Kereta kencana yang ditarik enam ekor kuda putih telah melaju dengan kecepatan sedang. Gemerincingnya kelinting memecah kesunyian malam.
Kereta kemudian menuju muara kali Opak. Ketika kereta sampai di tempuran kali Opak dan kali Gajah Wong, Panembahan Senopati berbisik; “Di situ biasanya perahu getek aku tambatkan….!”
“Ya aku tahu…..! Aku sering pula bermain-main sampai di tempat ini bersama para abdiku…..!” Jawab wanita cantik jelita itu.
“Kita nanti berhenti di Wiyara. Aku akan melanjutkan perjalanan ke puncak Marapi, sedangkan Panembahan bisa langsung ke Mataram…..!” Berkata wanita cantik jelita yang berkebaya warna hijau daun muda itu.
“Yaaa….., jalan dari Wiyara sampai Mataram telah kami perlebar dan rata……!” Jawab Panembahan Senopati.
Di tengah malam yang sepi itu, gemerincingnya kelinting di kaki-kaki kuda memecah kesunyian yang terdengar sampai jauh.
“Lampor……, lampoor……!” Bisik orang-orang yang mendengarnya.
“Oooh ini pas bulan purnama. Sudah agak lama kita tidak mendengar lampor lewat…..!” Berkata yang lain.
“Jangan keluar rumah agar kita tidak menjadi tumbal…..!” Bisik yang lain.
“Masih ingat Rebon yang hilang ketika sedang memancing di tepi kali Opak. Saat itu juga di bulan purnama dan lampor juga sedang lewat.
” Yaaa….., sampai sekarang juga tidak kembali…..!” Berkata yang lain.
“Heee….., sepertinya lampor-nya berhenti, tiba-tiba tidak terdengar gemerincing lagi…..!” Berkata yang lain. Rumah mereka memang tidak jauh dari Wiyara.
“Jangan-jangan mencari tumbal…..! Dahulu ketika Rebon hilang sepertinya lampor-nya juga berhenti…..!” Timpal yang lain.
“Siapa lagi yang akan hilang……!” Celetuk yang lain.
“Heee…..! Jangan berkata seperti itu…..!” Yang lain mengingatkan.
Sementara itu, kereta kencana memang sedang benar-benar berhenti di ujung timur dusun Wiyara, di tepi kali Opak.
“Terpaksa kita berpisah di sini, Panembahan. Aku akan melanjutkan perjalanan ke puncak Merapi. Tetapi percayalah bahwa perjalanan-ku ini juga untuk kepentingan Mataram…..!” Berkata wanita yang cantik jelita itu.
“Terimakasih Gusti Ratu….. ! Aku percaya itu…..!” Jawab Panembahan Senopati.
“Pada bulan purnama bulan depan aku tunggu lagi di pantai selatan…..!” Berkata wanita cantik jelita lagi.
“Aku pasti akan datang……!” Jawab Panembahan Senopati.
“Kami tidak bisa terlalu lama berhenti di perjalanan agar tidak kamanungsan – diketahui oleh manusia…..!” Lanjut wanita cantik jelita.
“Selamat malam……, selamat jalan……!” Berkata Panembahan Senopati.
Suara gemerincing kembali memecah keheningan malam. Kereta kencana yang ditarik enam ekor kuda putih kembali meluncur ke arah pucak Merapi lewat kali Opak.
Mereka yang mendengar gemerincing itu sudah tahu bahwa itu suara lampor. Mereka tidak berani keluar rumah, apalagi berusaha untuk melihatnya. Mereka khawatir akan menjadi tumbal untuk dijadikan bagian dari penghuni laut Kidul atau penghuni puncak Merapi.
…………….
Bersambung……….
(@SUN-aryo)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Kunjungi pula situs saya di Youtube. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook.