Pernahkah anda mendapat nasehat dari orang lain saat anda sedang mengalami kejadian buruk? Atau anda sendiri yang berada pada posisi pemberi nasehat?
Pernahkah juga anda merasa nasehat yang diberikan justru membawa anda pada suasana hati yang terasa lebih buruk? Atau sebaliknya, nasehat-nasehat yang anda terima sungguh menentramkan dan membuat anda mampu menguasai situasi.
Berkenaan dengan nasehat ini memang menjadi suatu hal yang tidak gampang. Kadang terasa mudah bagi yang tidak mengalami, tapi akan sangat terasa sulit memahami bagi yang mengalami.
Nasehat Vs Bela Rasa
Ada sebagian orang yang kurang peka dalam mensikapi suatu keadaan terkait musibah yang menimpa seseorang. Ambil contoh, Ketika seorang teman sedang berduka karena anggota keluarganya meninggal.
Saat bertemu yang bersangkutan, biasanya langsung mengatakan “Ikut berduka cita ya, semoga diampuni segala dosa-dosa dan arwah beliau diterima disisi Tuhan”. Terkadang lebih panjang dengan ditambahi nasehat “kamu yang tabah ya, semua sudah takdir yang maha kuasa, kita manusia bisa apa……dan sebagainya”.
Bagi sudut pandang pemberi nasehat, hal seperti ini seolah biasa, dan merasa sudah memberi support terbaik. Tetapi mungkin tidak begitu, dari sisi orang yang sedang mendapatkan musibah.
Seorang yang sedang berduka mendalam, dia tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Banyak pikiran dan perasaan berkecamuk di dalam dirinya, panca indra nya sedang tidak mampu merespon dengan baik.
Satu-satunya yang dia rasakan hanyalah dirinya. Kata-kata atau nasehat panjang lebar tidak akan terdengar jelas di telinganya saat itu. Yang dia butuhkan sebenarnya, hanyalah perasaan merasa “ditemani”. Minimal itulah yang pernah penulis rasakan ketika berada dalam situasi buruk.
Maka, kehadiran, jabat erat, itu seebenarnya sudah cukup menghibur dan menguatkan, tanpa harus berkata banyak, apalagi ditambahi nasehat-nasehat panjang lebar.
Bukannya menambah ringan beban, tapi bisa jadi malah membuat jengkel orang yang di nasehati. “Ngomong apa sih? kamu tidak mengalami sih…coba kamu berada di posisi saya! Sok tahu kamu !”
Pilih Waktu dan Situasi Yang Tepat
Anda boleh belajar dari banyak buku dan teori tentang hal yang berhubungan dengan ini. Banyak di Internet.
Tapi menjadi peka, tidak selalu harus mencari dari luar. Kita bisa belajar merasakan dari dalam diri kita masing-masing. Kita bisa belajar memahami hati orang lain, dengan terlebih dahulu belajar memahami perasaan dan hati kita sendiri.
Kita tidak perlu reaktif dan over acting saat hendak mengutarakan empati kita terhadap orang lain. Apa yang dibutuhkan orang lain, sebenarnya bisa kita rasakan jika kita mau sedikit memposisikan diri “menjadi seperti dia” yang sedang berduka.
Memilih saat dan situasi yang tepat menjadi sebuah kecakapan yang boleh diasah, hingga kita akan mampu berbela rasa memposisikan diri lebih baik, dan saudara, teman atau orang lain akan merasa didukung dan “ditemani”.
Hal ini tentu perlu banyak latihan dan refleksi, apa yang sudah kita lakukan.
Pengalaman Saat Terpapar Covid-19
Beberapa saat yang lalu, penulis terkonfirmasi positif Covid-19. Yang awalnya didahului dengan kondisi badan yang demam, batuk dan pilek.
Kejadian ini tentu saja sedikit banyak membuat mental agak down karena melihat banyaknya kasus yang memburuk. Namun penulis berusaha optimis karena juga ada banyak kasus yang sembuh.
Pada awal-awal terpapar, badan masih kuat dan masih bisa menerima telpon dan video call teman-teman. Tapi berjalannya waktu, kondisi saya semakin buruk karena fase-fase covid-19 yang mulai muncul.
Badan terasa semakin berat dan semakin merasa tak berdaya karena pernafasan juga sudah mulai terganggu. kemampuan mencium bau menghilang, kemampuan indra pengecap juga menghilang. sedangkan deman dan pusing masih terus terasa.
Yang tadinya masih bisa berpikir jernih, kali ini untuk berpikir jadi menjadi sangat susah, karena harus juga melawan rasa sakit di badan yang sungguh terasa sangat berat.
Di saat-saat seperti ini, saya sungguh tidak butuh nasehat tidak berguna bahkan saya menyebutnya “sampah”. Saya hanya merasa butuh di temani agar mampu menjalani semua ini dengan baik.
“Kamu harus berpikir positif, buat hatimu bahagia dan senang…bla..bla..bla !”. Apakah nasehat sepeti ini membantu ketika kita sedang berada dalam kondisi sangat tertekan dan berada dalam batas hidup dan mati?
Menjaga kesadaran untuk tetap bernafas saja sangat susah, apalagi harus happy-happy.
Sungguh saya merasa tidak dibantu dan justru saya merasa semakin merasa sendiri, karena yang saya rasakan setiap orang menjadi tidak paham dengan yang saya alami. Ekstrim nya, mereka menganggap saya sakit yang remeh temeh.
“Covid adalah penyakit biasa. Hanya seperti flu biasa, tidak usah takut. sebentar juga hilang…yang penting hatinya senang…”. “Kamu harus paksa makan, walau mual tetap harus dipaksa makan”, “Sesak ya? sebentar juga hilang, biasa ituuu…”. Sungguh bagi penulis, hal ini sangat tidak membantu.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Empati tidak selalu harus banyak bicara. empati bisa ditunjukkan dengan cara sederhana.
Waktu itu saya merasa sangat terhibur, terharu dan dikuatkan ketika seorang teman melakukan video call ke saya. Dia tidak banyak berkata, hanya memandang lekat saya dan meletakkan tangan kanan di dada kirinya beberapa saat. Sampai akhirnya dia hanya berkata,”Kamu pasti mampu menjalani ini semua. Doaku menyertaimu”.
Disinilah saya merasa ada orang yang memahami saya dan mensupport saya.
Mungkin anda tidak setuju dengan opini atau pendapat saya ini, tetapi minimal inilah yang ada dalam unek-unek saya ketika beberapa kali sempat berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan atau boleh dikatakan buruk.