Penerus Trah Prabu Brawijaya-Gendhuk Jinten-Part#39

Dari balik gerumbul perdu di seberang sungai, Bayaputih bisa melihat Gendhuk Jinten yang sedang mencuci pakaian. Dengan jarit basah sedada, Gendhuk Jinten tanpa prasangka kepada siapapun dengan tenang membanting-banting kain basah agar bersih.
Bayaputih menyaksikan polah Gendhuk Jinten dengan dada berdegup. Ia baru percaya bahwa gadis itu memang sungguh sangat cantik. Bahkan gadis-gadis di seberang lautan tempat asalnya pun tak pernah dijumpai gadis secantik itu. Dada Bayaputih semakin berdegup kencang ketika sesekali kain basah yang melilit tubuh cantik itu melorot. Namun dengan cepat Gendhuk Jinten membetulkannya.
Bayaputih menahan nafas ketika melihat Gendhuk Jinten berdiri dan menyingsingkan jarit basah yang dikenakannya dan kemudian menggendong cucian naik ke dataran yang terbuka. Sejenak kemudian Gendhuk Jinten menggantang cucian itu di rerumputan yang diterpa sinar matahari.
Bayaputih memperhatikan setiap langkah Gendhuk Jinten dengan dada berdegup dan penuh kekaguman. Ia sungguh menikmati pemandangan yang jarang ia saksikan. Ia kemudian sedikit bergeser ketika melihat Gendhuk Jinten berjalan menuju sebuah tebing.
“Ooh ia pasti menuju ke belik yang ada pancurannya seperti yang dikatakan oleh Lasa…..! Gemericik pancuran air pun terdengar dari tempat ini…..!” batin Bayaputih.
Benar dugaan Bayaputih, Gendhuk Jinten menuju ke tempat gemericiknya air pancuran.
Bayaputih sedikit kecewa, karena tempat pancuran itu dikerodong dengan anyaman bambu dan dirangkap dengan ketepe daun kelapa. Dan sepertinya ada pintunya pula yang terbuat dari anyaman bambu. Di sekeliling belik itu pun ditumbuhi pohon beluntas yang rimbun.
Bayaputih dengan hati-hati mengendap lebih dekat ke belik itu. Ia tertegun ketika mendengar gadis di dalam kerodong bilik kecil itu bersenandung merdu.
Bayaputih hanya bisa membayangkan sesuatu yang menakjubkan di dalam bilik itu. Terlebih ketika terdengar kecibar-kecibur air belik yang digayung.
Sejenak kemudian terdengar gemericik air pancuran yang tidak beraturan. Bayaputih membayangkan gadis cantik itu sedang mandi di bawah guyuran air pancuran.
Dada Bayaputih menjadi semakin kencang berdegup. Terbesit niatnya untuk menerobos masuk ke dalam bilik itu. Namun nalarnya mengingatkan, jika gadis itu sempat menjerit tentu akan sangat berbahaya. Jeritan itu pasti akan terdengar sampai ke pondok Ki Tanu. Dan mungkin sekali di pekarangan Ki Tanu ada beberapa orang yang sedang berkunjung untuk melihat berbagai tanaman di pekarangan itu.
Bayaputih pun menepis niat itu.
Pikiran nakalnya kembali menggoda, ia melihat bahwa bilik itu tak beratap.
“Heeeem…..! Jika aku memanjat pohon yang tinggi, mungkin sekali akan menyaksikan pemandangan yang sangat menggetarkan…..!” batin Bayaputih.
Bayaputih pun segera mencari pohon yang tinggi namun rimbun yang memungkinkan bisa melihat ke dalam bilik belik dan pancuran namun ia sendiri tidak terlihat dari pancuran itu.
Tak menemui kesulitan bagi Bayaputih untuk memanjat pohon yang tinggi. Walau yang ia lakukan itu tidak selayaknya dilakukan oleh seorang pangeran. Namun naluri kelelakiannya mengalahkan nalarnya.
“Nah itu pancurannya kelihatan…..!” batin Bayaputih.
Namun ia kecewa, karena dari tempat itu hanya terlihat air pancuran dan sedikit rambut basah orang yang sedang mandi. Ia mencoba mendongak, namun tetap saja tak bisa melihat lebih jelas.
Bayaputih mencoba mengamati keadaan, mungkin ada tempat yang lebih tinggi untuk bisa melihat lebih leluasa ke dalam bilik belik pancuran itu.
“Nhaaah….. itu ada pohon yang lebih tinggi, mungkin dari sana aku bisa melihat lebih leluasa…..!” batin Bayaputih.
Bayaputih pun segera meluncur turun dan kemudian memanjat pohon yang menjulang tinggi itu. Namun demikian ia berhati-hati agar tidak diketahui oleh yang sedang mandi. Dari tempat ketinggian itu, ia bisa memandang ke segala arah. Bahkan pondok Ki Tanu pun terlihat jelas dari tempat itu. Ia kemudian menempatkan diri untuk bisa melihat dengan leluasa ke dalam bilik belik yang ada pancurannya itu.
“Oooh…..!” desah Bayaputih kecewa. Ia melihat Gendhuk Jinten telah berpakaian kering dan keluar dari bilik.
Ia masih tetap berdiam diri di atas pohon. Ia ingin melihat apa yang akan dikerjakan oleh Gendhuk Jinten itu.
………….
Bersambung………..

Petuah Simbah: “Jagalah naluri kelelakian agar tidak menabrak norma kesopanan.”
(@SUN)

St. Sunaryo

Pensiunan pegawai PT Telkom Indonesia. Sekarang bertempat tinggal di Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi website https://stsunaryo.com , ada yang baru setiap hari.

Learn More →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *