Rara Jonggrang mulai percaya dengan cerita Raden Bandung Bandawasa yang meyakinkan. Jika ayahnya dan pamanya masih hidup, mereka tentu telah mengejar perjaka ini. Perjaka yang tampan dan gagah ini pasti seorang ksatria yang sakti mandraguna. Rara Jonggrang bukan seorang yang bodoh dan tanpa perhitungan. Jika ia melawan atau melarikan diri dari perjaka ini, tentu tidak mungkin. Jika benar ayah dan pamanya dibunuh oleh Bandung Bandawasa, ia harus mampu membalas dendam. Walau ia kagum akan ketampanan dan kegagahannya, tetapi ia tidak sudi untuk disunting oleh orang yang telah membunuh ayah dan pamannya. Namun Rara Jonggrang harus mendapatkan cara agar niatnya berhasil. Ia harus bisa bersandiwara meladeni putra Pengging yang sepertinya tertarik kepada dirinya.
Ia kemudian berkata seakan kepada dirinya sendiri; “Ayaaah…., pamaan….!
Jonggrang sudah tidak punya siapa-siapa lagi…..! Lebih baik Jonggrang menyusul ayah dan paman…..! Bunuhlah aku, Bandung Bandawasa, bunuhlah aku…..!” kata Rara Jonggrang sambil terisak.
“Putri…..! Jangan berkata seperti itu, Putri…..! Bandung Bandawasa sanggup menjadi ganti ayah dan pamanmu. Dan bahkan lebih dari itu, kau akan aku boyong ke negeriku dan besuk akan aku jadikan permaisuri di keraton Pengging……!” kata Raden Bandung Bandawasa.
“Tidaaak…..! Lebih baik aku mati menyusul ayah dan pamanku…..!” kata Rara Jonggrang.
“Putri…..! Aku tak bermaksud untuk membunuh Prabu Baka dan Patih Gupala….! Sebagai bukti penyesalan, aku akan membahagiakanmu…..! Sepanjang aku mampu, akan aku turuti permintaanmu, asal bukan untuk mengantarmu menyusul ayah dan pamanmu…..!” kata Raden Bandung Bandawasa.
Rara Jonggrang terhenyak mendengar kata-kata Raden Bandung Bandawasa. Ia terdiam beberapa saat untuk mendapatkan cara membalaskan kematian ayah dan pamannya. Namun ia masih terisak untuk menunjukkan kesedihan yang amat sangat kepada perjaka di hadapannya itu.
Ki Bekel Klurak berhenti sejenak dalam bercerita, karena tempat mereka berbincang telah tertimpa sinar mentari yang menyengat.
“Marilah kita ke gapura itu yang terlindung oleh terpaan sinar mentari yang panas menyengat ini….!” kata Ki Bekel Klurak.
Birawa dan Wilapa pun tak menolak ajakan Ki Bekel, mereka menuju ke gapura yang masih tampak gagah dan megah, walau sebagian telah roboh.
Dari tempat itu, Ki Bekel menunjukkan tempat di mana kira-kira Rara Jonggrang dan Raden Bandung Bandawasa berbincang.
“Konon ceritanya, di samping gapura itulah ketika itu Rara Jonggrang dan Raden Bandung Bandawasa berbincang……!” kata Ki Bekel seakan ia sendiri melihat kejadian itu.
Birawa dan Wilapa mengangguk-angguk membayangkan kejadian yang sebenarnya.
Dari tempat itu juga bisa dilihat hamparan batu yang masih tertata rapi. Mungkin sekali tempat itu adalah halaman dalam keraton Baka.
“Nanti kita akan menyusuri reruntuhan bebatuhan sampai jauh ke belakang…..!” kata Ki Bekel.
Sambil duduk di gerbang gapura, Ki Bekel melanjutkan ceritanya.
Setelah berbincang cukup lama, Raden Bandung Bandawasa belum sempat menanyakan nama putri Prabu Baka itu. Namun akhirnya diketahui bahwa gadis tinggi semampai yang cantik jelita itu bernama Rara Jonggrang. Jonggrang sendiri artinya adalah tinggi semampai.
Raden Bandung Bandawasa kemudian memecah kebekuan.
“Rara…..! seandainya nanti negeri Baka dan negeri Pengging digabung, tentu akan menjadi sebuah negeri yang besar dan kuat. Bandung Bandawasa adalah putra mahkota negeri Pengging dan Rara Jonggrang sebagai permaisuri……!” kata Raden Bandung Bandawasa.
Rara Jonggrang mengangguk-angguk kecil seakan menyetujui kemauan Raden Bandung Bandawasa.
“Jika demikian, tinggal kita atur kapan kita bersama ke keraton Pengging……!” kata Raden Bandung Bandawasa.
Tiba-tiba Rara Jonggrang mendapat gagasan untuk balas dendam kepada putra Pengging itu.
“Baik Raden……! Tetapi Jonggrang meminta sesuatu…..!” kata Rara Jonggrang.
Raden Bandung Bandawasa tersenyum, kemudian katanya; “Katakan Rara…..! sepanjang aku mampu akan aku turuti…..!”
…………….
Bersambung………
Petuah Simbah: “Hati-hati dengan jebakan cinta.”
(@SUN)