Rara Jonggrang tak segera menjawab, ia mengambil nafas dalam-dalam untuk mengatur kata-kata yang akan ia sampaikan kepada Raden Bandung Bandawasa.
Kemudian katanya; “Jika andika bisa mengalahkan ayah dan pamanku, tentu andika seorang yang sakti mandraguna. Tentu andika dengan mudah akan mampu mewujudkan permohonanku…..!”
Rara Jonggrang berhenti sejenak, sedangkan Bandung Bandawasa menunggu apa yang akan dikatakan oleh Rara Jonggrang.
“Permohonanku hanya sederhana, tolong aku dibuatkan sumur di bukit cadas ini sampai keluar mata airnya dalam waktu sesiang hari ini. Harapan saya, keraton Baka tak akan pernah kekurangan air walau musim kering berkepanjangan……!” lanjut Rara Jonggrang.
Raden Bandung Bandawasa merenung sejenak. Sepertinya permohonan Rara Jonggrang itu masuk di nalar dan tidak berlebihan.
“Bagaimana Raden…..? Apakah sanggup…..?” desak Rara Jonggrang.
Raden Bandung Bandawasa tersenyum, ia tentu mampu mewujudkan permintaan dari Rara Jonggrang tersebut. Ajian Bandung Bandawasa yang mampu meruntuhkan bukit, tentu akan mampu pula untuk membuat sumur di bukit cadas ini.
“Tentu aku sanggup, Rara…..! Di mana aku harus membuat sumur itu…….?” tanya Raden Bandung Bandawasa.
“Marilah aku antar di bagian belakang dari keraton ini….!” ajak Rara Jonggrang.
Rara Jonggrang kemudian berjalan di depan, sedangkan Raden Bandung Bandawasa mengikuti di belakangnya.
Ki Bekel Klurak berhenti sejenak dalam bercerita. Ia kemudian mengajak kedua tamunya untuk menuju ke bagian belakang dari keraton Baka tersebut. Seakan Ki Bekel mengikuti langkah Rara Jonggrang dan Raden Bandung Bandawasa yang berada di depannya.
“Mari kita menuju ke belakang keraton ini untuk melihat petilasan sumur yang ada dalam kisah ini…..!” ajak Ki Bekel.
Birawa semakin penasaran untuk mengikuti kisah Rara Jonggrang dengan melihat keadaan yang sebenarnya. Demikian pula Wilapa, walau ia pernah mendengar cerita itu, namun tidak segamblang kisah Ki Bekel dengan melihat langsung tempat kejadian. Ia dahulu bersama kawan-kawannya hanya mendengar kisah di pendapa, tidak di alam yang senyatanya. Ia pun semakin tertarik untuk ikut membuktikan kisah tersebut.
Sambil berjalan, Ki Bekel bercerita tentang tempat-tempat yang dilalui, walau saat itu candi Ratu Baka sebagaian telah runtuh dan tak berpenghuni. Namun kemegahannya masih bisa dibayangkan.
“Di tumpukan batu ini kemungkinan besar istana keraton Baka berdiri. Mungkin sekali istana itu terbuat dari kayu-kayu jati yang besar dan kuat. Ini bisa dilihat dari bekas-bekas umpak besar yang masih tegak itu…..!” kata Ki Bekel.
Birawa dan Wilapa mengangguk-angguk kecil memahami kata-kata Ki Bekel. Mereka semakin kagum akan kemegahan keraton Baka, dan sulit untuk membayangkan bagaimana bangunan batu-batu besar itu di bangun di atas bukit seperti ini. Namun keduanya tidak mengatakan sesuatu, dan terus melangkah mengikuti Ki Bekel Klurak. Birawa semakin heran karena area keraton itu cukup luas untuk ukuran puncak bukit.
Ki Bekel berhenti di gundukan bebatuan di sisi timur dari petilasan Ratu Baka tersebut.
“Di sinilah cerita itu berlanjut…..!” kata Ki Bekel.
Ki Bekel Klurak kemudian melanjutkan ceritanya.
Beberapa prajurit jaga heran, ketika mereka melihat Rara Jonggrang berjalan bersama seorang perjaka yang tampan dan gagah. Sementara pasukan besar sedang menyusul Patih Gupala ke padang ara-ara di seberang kali Opak. Mereka, para prajurit itu belum tahu apa yang terjadi di Padang Ara-ara Amba.
Rara Jonggrang telah menunjukkan tempat yang diinginkan untuk dibuat sebuah sumur. Batu cadas yang kasar dan kering kerontang, sepertinya mustahil di tempat itu ada sumber air. Beberapa penggali sumur yang handal pun akan kesulitan untuk menggali di tempat itu. Namun Raden Bandung Bandawasa tetap tersenyum, tidak menampakkan kegelisahan.
“Di tempat inilah yang cocok untuk dibuat sumur, Raden……!” kata Rara Jonggrang.
“Akan segera aku mulai agar tidak kehilangan waktu sampai matahari terbenam…..!” kata Raden Bandung Bandawasa.
…………..
Petuah Simbah: “Kepercayaan diri membuat tenang menghadapi segala sesuatu.”
(@SUN)