Mbok dukun bayi pun telah datang, Ki Tanu berpesan untuk mengetahui keadaan Gendhuk Jinten yang sesungguhnya. Namun demikian, seandainya telah mendapat kepastian, jangan sampai Gendhuk Jinten tahu. Biarlah nanti Ki Tanu sendiri yang mengatakan. Mbok dukun bayi yang telah lebih dari separuh baya itu pun paham maksud dari Ki Tanu.
Mbok dukun bayi dengan ramah memijat Gendhuk Jinten. Ia juga terampil memijat untuk mengendorkan otot-otot yang kaku karena kecapaian.
Gendhuk Jinten senang diurut kaki dan punggungnya.
Namun kemudian Mbok dukun juga mengurut dengan lembut bagian bawah perutnya beberapa kali.
Mbok dukun mengerutkan dahinya tanpa sepengetahuan Gendhuk Jinten.
Mbok dukun yang berpengalaman itu yakin bahwa putri Ki Tanu itu telah berbadan dua. Meskipun jika ia berjarit belum tampak.
Mbok dukun kemudian mengurut dada bagian atas dari Gendhuk Jinten.
Mbok dukun kembali mengerutkan keningnya karena gunung kembar milik seorang gadis tidak akan mengkal dan sedikit membengkak seperti ini.
Mbok dukun semakin yakin akan keadaan dari Gendhuk Jinten. Namun demikian, ia tidak menampakkan keterkejutannya. Ia tetap berbincang dengan Gendhuk Jinten tentang hal-hal yang jauh dari dugaannya itu.
Gendhuk Jinten sendiri tidak merasa ada sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ia mengira semua perubahan pada tubuhnya adalah hal yang biasa bagi setiap orang yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Setelah selesai memijat, Mbok dukun memberitahukan keadaan Gendhuk Jinten sesuai dengan pengamatannya berdasarkan pengalamannya selama ini. Namun yang dikatakan oleh Mbok dukun itu tanpa sepengetahuan Gendhuk Jinten.
Ki Tanu menghela nafas panjang untuk menahan gejolak perasaannya. Meskipun Ki Tanu telah berprasangka sebelumnya.
“Terimakasih Mbok…..! Akan aku telisik siapa yang berbuat tak sepantasnya itu…..! Namun jagalah ini semua sebagai wewadi, Mbok…..!” kata Ki Tanu kemudian.
“Baik Ki Tanu, saya mengerti…..!” kata Mbok dukun dengan bijak.
Gendhuk Jinten tetap melakukan pekerjaan seperti biasa, sedangkan Ki Tanu sangat gelisah. Ki Tanu ingin berbicara dengan Gendhuk Jinten tentang keadaannya nanti malam. Siang itu Ki Tanu memilih ke kebun buah yang agak jauh dari pondoknya. Ia tak tega melihat keadaan putrinya yang sangat tidak ia harapkan. Apa yang dialami oleh Gendhuk Jinten itu merupakan pukulan yang sangat keras bagi Ki Tanu, lebih keras dari ajian apapun yang pernah ia hadapi.
Jika itu benar-benar terjadi dan tak ada pria yang bertanggungjawab tentu sangat mencoreng wajah Ki Tanu yang telah dianggap sebagai panutan di Kademangan Pengging. Ki Tanu belum tahu apa yang akan ia lakukan jika seluruh kademangan telah mengetahuinya. Yang paling ia takutkan adalah bahwa tuduhan akan mengarah kepada dirinya, karena di pondok itu hanya tinggal berdua, ia dan putrinya. Tuduhan seperti itu akan sangat mudah tersebar ke seluruh kademangan. Walau sesuatu yang tidak benar, namun kemungkinan itu sangat mungkin terjadi. Jika sudah tersiar di pasar, maka kabar tak benar itu akan dengan cepat menyebar.
Ki Tanu hanya hilir mudik di bawah pohon-pohon buah-buahan hanya untuk membuang risau di hatinya. Ia berharap petang lekas menjelang, sehingga ia bisa segera bertanya kepada putrinya dengan leluasa. Namun rasanya matahari berjalan amat lambatnya.
Ki Tanu belum pernah merasakan risau hati yang sedemikian pelik. Geger – peperangan besar negeri Majapahit pun bisa ia hadapi dengan hati yang tegar. Namun permasalahan putrinya ini sungguh membuatnya sangat risau.
Menghadapi masalah putrinya itu, tiba-tiba pikirannya teringat kepada sang istri. “Oooh Nyi……, di manakau sekarang……?” batin Ki Tanu.
“Seandainya kau bersama kami, tentu tak akan terjadi kejadian ini…..!” keluh Ki Tanu.
Ia pun belum mendapat kabar kepastian tentang sang mertua, Baginda Prabu Majapahit. Namun kabar yang tersebar bahwa beliau moksa di puncak gunung. Namun kabar itu sulit untuk dipercaya begitu saja. Dan bagaimana nasib sang istri
beserta mereka yang menyertainya?
Ketika teringat hal itu, Ki Tanu merasa prihatin, karena putrinya yang adalah seorang cucu raja gung binatara harus terlunta-lunta.
“Perebutan kekuasaan yang membuat sengsara banyak orang…..!” keluh Ki Tanu.
……………
Bersambung………..
Petuah Simbah: “Perebutan kekuasaan tentu akan membuat sengsara banyak orang.”
(@SUN)