Dahulu, ketika masih muda, Ki Tanu yang dikenal dengan nama Den Teja pernah beberapa pekan tinggal di sebelah timur gunung Merapi itu. Daerah yang sejuk dan tanahnya subur dan sudah ditinggali beberapa keluarga. Dari tempat itu, lelehan lahar gunung Merapi terlihat jelas. Lelehan lahar yang terlihat garang namun indah. Ke tempat itulah sesungguhnya yang ingin dituju oleh Ki Tanu. Ki Tanu tidak benar-benar akan ke Prambanan. Ketika ia selalu mengatakan bahwa akan ke Prambanan, itu hanyalah dalih yang paling mudah diucapkan. Nama Prambanan sudah banyak diperbincangkan, karena adanya candi yang sangat indah, Candi Prambanan. Dan di sekitar candi itu juga terdapat banyak candi, ada Candi Plaosan, Candi Sewu, Candi Sojiwan, dan masih banyak lagi dan bahkan ada yang dinamai Candi Bubrah karena sudah runtuh. Den Teja dan kawan-kawannya juga pernah mengembara sampai di sekitar candi Prambanan itu. Namun, perjalanan untuk sampai ke candi Prambanan bersama putrinya, Gendhuk Jinten tentu merupakan perjalanan yang berat, karena masih harus melewati hutan yang lebat dan luas, hutan Wiring. Kemudian akan sampai di sebuah permukiman yang sudah ramai, Sangkalputung. Dari Sangkalputung masih harus melewati hutan yang lebat lagi, alas Gondang. Setelah melewati dan menyeberangi beberapa sungai yang tidak terlalu lebar, baru sampai di Prambanan. Namun yang paling mengesankan bagi Den Teja dan kawan-kawan adalah ketika mengunjungi reruntuhan candi di atas bukit yang tak jauh dari Prambanan, Candi Ratu Baka. Mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana batu-batu besar itu bisa tertata indah di atas bukit. Mereka pernah menjelajahi luasnya candi Ratu Baka, namun tak menjumpai seorang pun yang berani bertempat tinggal di reruntuhan candi itu. Cerita rakyat yang seram tentang candi itu yang membuat merinding setiap orang yang akan tinggal di tempat itu.
Den Teja dan kawan-kawan belum pernah lebih jauh ke arah barat dari candi Prambanan. Namun mereka pernah mendengar pula cerita bahwa di sebelah barat Prambanan masih ada beberapa candi yang indah seperti Candi Sari dan Candi Kalasan yang belum sempat dikunjungi oleh Den Teja dan kawan-kawannya. Lebih ke arah barat lagi, konon ada hutan yang menjadi sarang buaya yang sangat berbahaya, hutan Tambakbaya. Dan lebih jauh lagi ada hutan yang gawat kaliwat-liwat, sato mara, sato mati, janma mara keplayu, alas Mentaok. Den Teja dan kawan-kawan juga pernah mendengar cerita, bahwa di seberang alas Mentaok di sisi selatan, tak jauh dari segara kidul ada pemukiman yang telah ramai, Mangir. Namun Ki Tanu tidak akan mengajak putrinya, Gendhuk Jinten untuk menempuh perjalanan yang sangat berbahaya itu. Ia ingin mengajaknya ke lereng gunung merapi di sisi timur, tanah yang sejuk dan subur.
Malam itu, Ki Tanu dan putrinya, Gendhuk Jinten bermalam di banjar sebuah kabekelan, Bekel Sala.
Ki Bekel Sala menerima dengan senang hati, di banjar itu sudah terbiasa menerima orang-orang yang ingin bermalam. Bahkan, malam itu juga ada dua keluarga lain yang bermalam di banjar itu.
Gendhuk Jinten sudah tidur di amben panjang bareng dengan para wanita yang lain. Gendhuk Jinten sudah dipesan oleh Ki Tanu untuk tidak bercerita apapun tentang Majapahit. Maka ia memilih segera tidur untuk menghindari banyak pertanyaan. Tak ada seorang pun yang mengira bahwa gadis yang meringkuk di amben itu adalah cucu seorang raja besar.
Ki Bekel dan Ki Jagabaya berbincang akrab dengan mereka yang menginap. Kabekelan Sala sudah cukup jauh dari kotaraja Majapahit, namun kabar tentang runtuhnya negeri besar itu menjadi perbincangan mereka. Namun Ki Tanu yang mengaku dari lereng gunung Lawu itu menempatkan diri sebagai orang yang kurang tahu tentang keraton. Dalam perbincangan itu, Ki Tanu mengatakan bahwa ia mendengar cerita tentang Majapahit ketika dalam perjalanan. Sesungguhnya ia sangat sedih setiap mendengar orang-orang memperbincangkan tentang runtuhnya Majapahit. Ia dan putrinya adalah korban yang sesungguhnya yang membuatnya terlunta-lunta.
“Kami tidak tahu, apakah kekuasaan Demak Bintara akan menjangkau sampai daerah Sala ini…..!” kata Ki Jagabaya.
“Kita berada di perangkat negeri yang paling bawah, tentu hanya bisa mengikuti perintah Ki Demang dan Gusti Bupati…..!” kata Ki Bekel.
“Besuk kami para bekel akan menghadap Ki Demang Pajang…..!” lanjut Ki Bekel.
………..
Bersambung……….
Petuah Simbah: “Zaman dahulu, orang akan senang menerima siapa pun yang menginap di rumahnya.”
(@SUN)