Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Ki Ageng Pengging Anom.
Jika menilik dari gelar perang dan mereka yang mengawakinya, sepertinya pasukan ini sulit untuk ditaklukkan. Mereka yang mengawakinya adalah orang-orang yang berpengalaman dan sakti mandraguna.
Dalam pada itu, para petinggi Majapahit yang dipimpin oleh sang Adipati Girindhawardana juga sedang mengadakan pertemuan untuk merencanakan kesiapan pasukan esok hari. Mereka menyadari bahwa pasukan Majapahit tidak sebanyak dan sekuat pasukan Demak yang mampu menghimpun pasukan dari berbagai kadipaten. Namun demikian, pasukan Majapahit tak mau menyerah begitu saja, terlebih prajurit Demak Bintara telah dengan semena-mena mengeroyok Ki Ageng Pengging yang baru pulang dari Majapahit. Pasukan Majapahit harus bisa memfaatkan sebagai tuan rumah dalam peperangan nanti. Mereka pasti lebih menguasai medan pertempuran.
“Apa pendapatmu senopati Lembu Sena…..?” tanya Adipati Girindhawardana kepada senopati andalannya.
“Menurut hemat hamba, kita tidak harus berhadapan langsung dengan pasukan lawan yang jelas-jelas lebih banyak dan lebih kuat…..!” kata senopati Lembu Sena yang gagah tinggi besar bagai Raden Harya Sena dalam kisah pewayangan itu.
“Bagaimana pendapatmu senopati Glagah Curing…..?” tanya Adipati Girindhawardana kepada senopatinya yang berperawakan kecil namun tinggi bagai sebatang gelagah.
“Ada dongeng yang menceritakan bahwa burung Srigunting yang kecil itu ditakuti oleh burung Elang. Mengapa itu tidak kita coba….?” kata senopati Glagah Curing.
“Bagaimana jelasnya, senopati…..?” tanya Adipati Girindhawardana.
“Seperti yang dikatakan oleh Kakang Lembu Sena, kita tidak mungkin berhadapan secara langsung. Seperti Srigunting yang tidak mungkin berhadapan dengan Elang, namun harus dari belakang atau samping….!” kata senopati Glagah Curing.
“Teruskan kata-katamu…..!” kata sang Adipati Girindhawardana.
Senopati Glagah Curing kemudian memaparkan rencananya, bahwa pasukan Majapahit hanya sebagian kecil yang akan berhadapan langsung dengan pasukan Demak Bintara. Pasukan itu pun hanyalah sebagai pancingan yang siap menghindar jika diserbu lawan yang sangat kuat itu. Seperti burung Srigunting yang mampu berkelit dari tangkapan burung Elang. Sedangkan sebagian besar tersebar berkelompok di luar arena pertempuran. Mereka semua dibekali dengan senjata lontar seperti anak panah, lembing atau bahkan bandil pelontar batu. Dan akan bekerjasama dengan pasukan yang telah menyiapkan duri kemarung yang telah terkumpul berkarung-karung. Duri-duri yang sederhana itu bisa menahan laju pasukan lawan, bahkan bisa menghambat pengejaran dari pasukan lawan.
Sang Adipati Girindhawardana sepakat dengan rencana dari senopati Glagah Curing tersebut.
Pasukan Majapahit pun segera mempersiapkan diri dengan gelar perang yang aneh tersebut.
Sementara itu, kabar gugurnya Ki Ageng Pengging telah sampai ke Pengging. Pengging yang semula sebuah kademangan, namun kini menjadi sebuah kadipaten.
Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara putra-putra Ki Ageng Pengging serta para perangkat kadipaten yang didampingi oleh seorang ulama yakni Syekh Sitijenar segera berunding. Para petinggi kadipaten Pengging itu tak sedikit yang berasal dari Majapahit. Ada pula mereka yang datang dari Grobogan, Sela dan Laweyan.
Mereka telah mendengar pula bahwa gugurnya Ki Ageng Pengging adalah karena dikeroyok oleh prajurit Demak Bintara.
“Pemerintahan kadipaten Pengging tidak boleh kosong, sebaiknya kita segera menetapkan seorang pengganti dari Ki Ageng Pengging……!” kata Syekh Sitijenar.
Atas saran dari Ki Ageng Enis dari Sela, kemudian disepakati bahwa pengganti dari Ki Ageng Pengging adalah putra sulung Ki Ageng Pengging, yakni Kebo Kenanga.
Ki Kebo Kenanga kemudian nunggak semi nama ayahnya dengan sebutan Ki Ageng Pengging Anom.
…………..
Bersambung……….
Petuah Simbah: “Dua pasukan yang saling berhadapan, semua berprinsip pada kebenaran masing-masing, namun tetap terjadi bentrokan karena berbeda kepentingan.”
(@SUN).
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.