Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1027
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Hari telah mulai petang, di setiap sudut alun-alun telah di buat arena untuk pertunjukan. Bahkan di tengah arena pun telah dibuat arena pula.
Para penonton semakin berdatangan. Bahkan para pengiring temanten dari Blambangan pun banyak yang datang ke alun-alun ingin mengetahui macam keramaian yang ada di Mataram. Demikian pula para pengiring adipati-adipati dari berbagai daerah datang pula di alun-alun.
Di sudut alun-alun kidul kulon telah dimulai pertunjukan jaran kepang. Karena arena yang lain belum mulai, maka di arena tersebut telah banyak dikerubungi oleh para penonton. Berjubelnya para penonton membuat bersemangat para pemain kuda kepang. Irama kendang dan bonang kempul yang menghentak-hentak membuat banyak para penonton yang ikut bergoyang. Masih tergolong sore, namun sudah ada pemain yang ‘ndadi’ seperti orang kesurupan menggelepar di tanah namun masih bergoyang seirama dengan hentakan kendang. Seorang pawang kemudian mengamankan dan menyadarkan pemain yang ndadi tersebut. Namun yang membuat para penonton semakin riuh, ada beberapa penonton yang ikut ndadi. Beberapa orang tersebut ikut menari di arena walau tanpa kuda kepang. Gerakan tari mereka yang ngawur membuat riuh dan gelak tawa para penonton.
Sementara itu, di tengah alun-alun menjadi arena tari tayub. Tari yang banyak pula penggemarnya. Kini tiga orang penari wanita yang cantik jelita diiringi gending rujak jeruk. Dengan dandanan yang sedikit terbuka memamerkan lereng dua gunung kembar yang membuat jakun pria naik turun. Para penonton pun mulai merubung arena di tengah alun-alun tersebut. Para penonton menunggu saat mendapat kesempatan untuk ikut ngibing. Ngibing adalah kesempatan untuk ikut menari menjadi pasangan penari. Namun demikian, mereka yang ikut ngibing harus menyediakan kepingan uang bagi sang penari. Tetapi Ki Jaya Supanta telah mengingatkan agar kepingan uang tidak diselipkan di antara dua gunung kembar seperti kebiasaan di beberapa tempat. “Ini di lingkungan keraton, keping uang harus di letakkan di kotak di depan pengendang itu….!” Berkata Ki Jaya Supanta.
“Wuoooo…..!” Seru para penonton yang sedikit kecewa. Namun demikian tidak mengurangi minat mereka.
Gending iringan telah berganti dengan gending ‘kijing miring’ – gending yang lebih rancak mengiringi tarian. Saatnya para penonton bisa ikut ngibing.
Benar saja lima orang telah berebut memberikan keping uang di depan pengendang. “Tiga orang dulu…., yang dua orang giliran berikutnya….!” Sang pengendang mengingatkan.
Gelak tawa mengiringi mundurnya dua orang yang sedikit lebih lambat memasukkan keping uang. “Ikut ndadi di tari kuda kepang saja Kang….!” Ledek salah seorang penonton. Para penonton pun tertawa dibuatnya.
Kini tiga orang penari telah mendapat pasangan masing-masing. Gerakan tari yang lincah menggairahkan dengan iringan gendang yang menghentak-hentak. Membuat tiga orang pengibing semakin bergairah. Namun Ki Jaya Supanta juga telah memperingatkan agar para pengibing tidak boleh menyentuh para penari. “Hampir menyinggung boleh…..!” Kelakar Ki Jaya Supanta.
“Wuoooo…., pengibing kecewa…..!” Teriak salah seorang penonton. Gelak tawa pun meledak di arena itu.
Benar saja, ketika irama gendang yang mereka tunggu dihentakkan; “blang gentak sudung sudung…. blang gentak sudung sudung…..” memancing gerakan penari untuk dicium sang pengibing. Para pengibing pun seakan, akan mencium sang penari. Namun para pengibing mematuhi pesan dari Ki Jaya Supanta sehingga jarak di antara wajah masih sejengkal. “Senggol Kang senggol….!” Goda penonton yang usil.
“Senggol….. senggol….. senggol…..!” Sahut beberapa penonton yang lain ikut menggoda.
“Blang gentak sudung sudung…. blang gentak sudung sudung…. blang gentak sudung sudung….” Irama gendang yang menggairahkan.
………
Bersambung………
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.