Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1053
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Mereka ingin tahu bagaimana kiprah dalang yang kabarnya dari Kalasan itu. Ki Sandinama yang juga sebagai pengendang dari rombongan teledek. Juga pesinden-nya yang merupakan penari dari teledek tayub yang kemarin ikut menari dan juga sebagai pesinden. Mereka yang telah mendengar lantunan dari pesinden yang mengaku sebagai Nyi Pinjung itu memang merdu mendayu.
Bahkan para demang dan para bekel serta beberapa perangkatnya yang jauh dari kedaton Mangir juga tidak pulang. Kecuali mereka yang berkuda atau naik andong. Mereka sempat pulang, namun akan kembali lagi. Mereka tak ingin melewatkan pertunjukan yang belum tentu akan terulang lagi.
Yang beruntung adalah para penjual minuman dan makanan. Mereka yang tidak pulang tentu memerlukan jajan. Yang paling laris adalah sate, gule dan tongseng kambing. Dengan wedang jahe gula aren.
Belum tentu mereka jajan dua tiga bulan sekali. Mereka memang telah menyiapkan uang untuk jajan.
Kelarisan pula para penjual kacang godok, kacang goreng sangan dan juga penjual jagung godok, jagung bakar. Mereka menikmati sambil ngobrol di tikar yang digelar di rerumputan. Mereka masih memperbincangkan tari tayub kemarin yang mereka saksikan. Pertunjukan itu memang berbeda dengan mbarang teledek pada umumnya. Mereka saling bercerita seakan mereka yang paling tahu. Tentu saja yang menjadi pusat perbincangan adalah Ni Madusari yang kemudian disunting oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Tak kalah bersemangatnya bercerita adalah mereka yang tadi siang ikut menyaksikan tata upacara pernikahan dan menyaksikan tarian hiburannya. Juga bercerita betapa cantiknya Ni Madusari sang bersanding dengan Ki Ageng Mangir Wanabaya di dampar pengantin.
Walau mereka hanya menyaksikan dari balik pagar, namun seakan ia menjadi salah satu undangan yang dekat dengan dampar pengantin.
“Wuoooh harumya Ni Madusari….!” Seloroh orang yang bercerita seakan begitu dekat dengan pengantin.
“Apa kau mendampingi Ki Demang Pandasimo….?” Bertanya kawannya yang memang berasal dari Pandansimo.
“He he he he…., tidak. Aku di luar pagar jeee….!” Jawab orang itu tertawa namun menahan malu.
“He he he he gayamu….! Hanya ngintip dari luar pagar kok nggedebus….!” Sindir kawannya dengan bergurau.
Mereka bergurau tanpa ada yang tersinggung, apalagi marah.
Tentu saja yang senang adalah penjual kacang dan jagungnya. Karena mereka selalu minta tambah. Demikian juga wedang jahe gula batunya.
Anak-anak pun ikut bersenang-senang, mereka berlarian kesana kemari sambil berkejar-kejaran dengan teman-teman yang sebaya.
Yang tidak ikut berlarian sudah senang jika dibelikan gulali.
Di pendapa telah digelar kelir – layar untuk pentas wayang kulit. Wayang pun telah ditancapkan tertata berjejer rapi di kanan dan kiri.
Gamelan sepangkon pelok slendro pun telah ditata sesuai tempatnya. Hari memang masih sore sehingga para wiyaga – penabuh gamelan belum menempati tempatnya.
Ki Sandinama, Ki Jayasupanta, Ki Sandisasmita, Ki Suradipa serta Nyi Pinjung yang tak lain adalah Nyi Adisara sedang berbincang.
Ki Sandinama yang tak lain adalah Adipati Martalaya sebagai dalang sedang menyampaikan rencana lakon yang akan dimainkan.
“Lakonnya nanti Larasati Rabi….!” Berkata Ki Sandinama.
“Cocok itu….., Larasati anak Ken Sagopi. Ken Sagopi yang sebelumnya adalah seorang pesinden dan juga seorang penari….!” Sahut Ki Suradipa.
“Yaaa…., Larasati gadis Widarakandang yang kemudian disunting oleh Raden Harjuna….!” Berkata Ki Sandinama.
“Cocok….! Ni Madusari yang seorang penari teledek disunting oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya….!” Sahut Ki Sandisasmita.
“Sepertinya jarang seorang dalang mementaskan wayang dengan lakon Larasati Rabi….!” Nyi Pinjung yang menyahut.
“Yaaa…., aku baru satu kali mementaskan lakon itu ketika di Pandansimping. Penonton pun senang, bertahan sampai pagi….!” Lanjut Ki Sandinama.
………..
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

