Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1054
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Kini para wiyaga – para penabuh gamelan sudah mulai berdatangan. Satu persatu menempatkan diri di tempatnya masing-masing. Para wiyaga dari paguyuban penabuh dari Mangir sendiri. Namun pesinden-nya Nyi Pinjung yang tak lain adalah Nyi Adisara. Namun ia didampingi oleh pesinden setempat.
Para penonton masih bertebaran di sekitar pendapa. Namun yang lebih banyak masih di alun-alun. Mereka duduk-duduk bergerombol sambil mengobrol. Banyak pula yang mengobrol di tikar yang disediakan oleh para bakul. Mereka berbincang sambil menikmati jajanan. Bakulnya pun senang, kelarisan. Kebanyakan dari mereka adalah yang tidak pulang sejak pagi. Mereka memang sengaja meninggalkan kegiatan sehari-hari demi bisa menyaksikan seluruh rangkaian hiburan atas pernikahan sang kepala tanah perdikan Mangir, Ki Ageng Mangir Wanabaya dengan Ni Madusari.
Mereka bangga memiliki pimpinan yang masih muda namun telah berilmu tinggi dan mereka tahu bahwa Ki Ageng Mangir Wanabaya memiliki pusaka sakti yang tiada duanya, tombak Kiai Baru Klinting.
Para penonton masih berdatangan dari segala penjuru. Mereka tak ingin melewatkan kesempatan langka yang belum tentu akan terulang kembali. Lebih-lebih nonton wayang yang dalangnya dari luar telatah Mangir. Konon dari Kalasan, walau sesungguhnya dari kotaraja Mataram. Ki Sandinama memang menutupi jati dirinya yang sesungguhnya dari Mataram. Karena jika mengaku dari Mataram tentu dicurigai sebagai telik sandi prajurit Mataram. Karena saat itu hubungan Mangir dengan Mataram kurang baik. Mangir sendiri tidak mau dianggap sebagai bagian dari Mataram. Sedangkan Mataram ingin menjadi penguasa tinggal di pulau ini. Namun masih banyak dari kawula Mangir yang tidak tahu permasalahan itu.
Dari alun-alun telah terdengar alunan bunyi gamelan. Namun mereka tahu bahwa gending ganjur itu baru sebagai pembuka untuk memangil para penonton. Pertunjukan wayang belum akan dimulai. Namun demikian para penonton mulai berbondong-bondong menuju ke tempat pagelaran wayang. Mereka ingin mendapat tempat di depan agar bisa leluasa dan nyaman menyaksikan pertunjukan. Lagi pula mereka ingin menikmati merdunya alunan tembang pesinden yang bersama rombongan dengan Ni Madusari.
Benar saja, suara alunan tembang dari sang pesinden sungguh merdu mendayu.
Kini kursi-kursi yang diperuntukkan bagi para perangkat tanah perdikan maupun untuk para demang, para bekel, para bayan dan para perangkatnya telah terisi sebagian besar. Mereka pun merasa terhormat karena disediakan tempat yang terhormat pula.
Kini Ki Dalang Sandinama telah bersila di depan kelir – yakni layar pertunjukan wayang.
Kursi-kursi bagi para undangan telah terisi penuh. Bahkan para penonton pun telah berjubel di sekitar pendapa, juga mereka yang berada di balik pagar.
Tak diduga, Ki Ageng Mangir Wanabaya yang sejak siang setelah pernikahan tidak terlihat, kini telah muncul. Ia kemudian menyalami satu-persatu para undangan yang duduk di kursi.
“Waaaah Ki Ageng tampak cerah ceria….!” Seloroh salah seorang demang. Yang lain pun tertawa, sedangkan Ki Ageng Mangir Wanabaya hanya tersenyum lebar.
“Nggak capai Ki Ageng…..?” Canda yang lain.
“Capai tetapi menyenangkan….!” Gurau yang lain lagi.
“Yang capai pasti Nyi Mangir….!” Sindir yang lain. Mereka pun tertawa, demikian pula Ki Ageng Mangir Wanabaya.
Celotehan masih bersahut-sahutan, namun Ki Ageng Mangir Wanabaya tentu tidak marah, namun justru tersenyum lebar. Ia masih berlanjut menyalami yang hadir. Mereka yang disalami pun senang dan bangga karena pimpinan mereka begitu dekat dengan kawula-nya. Mereka yang tidak di kursi undangan pun mendapat lambaian tangan dan sapaan dari Ki Ageng Mangir Wanabaya. Mereka pun bertepuk tangan dan berceloteh menggoda pengantin baru. Bahkan terdengar suitan-suitan candaan.
………..
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.

