Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1060
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Ki Dalang Sandinama menggambarkan keadaan kademangan Widarakandang dengan bahasa Jawa khas pedalangan.
Sebuah kademangan yang “Panjang punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah kerta lan raharja. Tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.” Bagai sebuah negeri.
Para pelamar yang akan mengikuti sayembara tanding telah berdatangan itu sungguh kagum terhadap kademangan Widarakandang. Rumah-rumahnya tertata rapi, jalanan pun lebar dan bersih, pepohonan ijo royo-royo. Alun-alun pun indah dengan pohon beringin putih kembar di tengah alun-alun dan di sekelilingnya pun berjejer rapi beringin putih yang rimbun. Mereka semakin berniat untuk melamar Larasati yang juga disebut Rarasati itu. Mereka berharap, suatu saat bisa menguasai kademangan tersebut. Sebuah kademangan yang tak kalah dengan sebuah kadipaten yang besar.
Namun mereka – para pelamar itu mendengar bahwa Larasati belum kembali, masih tinggal di Kasatrian Madukara bersama Rara Ireng alias Dewi Wara Sumbadra. Dari mereka banyak yang menuduh bahwa Larasati sengaja disembunyikan di luar Widarakandang. Jika memang benar itu disengaja, beberapa diantara mereka ingin menangkap dan menghajar Ki Demang Udawa dan ingin merebut kekuasaan di Kademangan Widarakandang.
Banyak dari para penonton wayang tersebut yang membayangkan dan menggambarkan bahwa kademangan Widarakandang itu seperti telatah Mangir saat itu. Penggambaran dalam bahasa Jawa seperti di atas adalah gambaran telatah Mangir pula. Mereka bangga dengan telatah mereka. Widarakandang yang berada di tengah-tengah negeri Mandura yang besar, demikian pula telatah Mangir yang dikelilingi oleh negeri Mataram yang besar pula.
Sore hari itu, warga kademangan Widarakandang yang berada di tepi jalan raya melambai-lambaikan tangan setelah melihat Larasati dan Ki Demang Udawa berada di andong yang terbuka itu, pulang dari Kasatrian Madukara.
Kabar tentang kepulangan Larasati bersama Ki Demang Udawa pun telah didengar pula oleh para pelamar yang telah berada di Widarakandang. Dengan demikian mereka yakin bahwa sayembara tanding akan benar-benar terlaksana. Mereka masing-masing pun percaya diri akan dengan mudah mengalahkan Ki Demang Udawa. Mereka berani mengikuti sayembara tanding karena memang merasa memiliki bekal ilmu kanuragan yang lebih dari cukup. Apalagi lawannya hanya seorang demang.
Rencana pelaksanaan sayembara masih kurang satu pekan, namun warga Kademangan Widarakandang dikejutkan oleh kedatangan rombongan besar yang gaduh riuh. Mereka dan juga para pelamar yang lain kemudian tahu bahwa rombongan besar yang gaduh riuh tersebut adalah para Korawa dari negeri besar, Hastinapura. Rombongan para Korawa bersama para prajurit Hastinapura itu lebih dari seratus orang. Polah tingkah mereka yang gaduh riuh bahkan tanpa tata krama dan unggah-ungguh itu jauh dari sikap seorang ksatria. Namun demikian, para pengawal kademangan Widarakandang, atas saran dari Ki Demang Udawa membiarkan mereka karena tak ingin terjadi keributan yang lebih besar.
“Biarkan saja…..! Mereka memang orang-orang yang tak memiliki unggah-ungguh….!” Berkata Ki Demang Udawa.
Mereka yang kemudian datang untuk melamar bukan hanya para perjaka, namun juga para ksatria dan para raja. Mereka memang mendengar dan bahkan tak sedikit yang pernah melihat kecantikan Larasati. Larasati seorang gadis yang lincah dan berotot kencang. Ia tidak menunduk jika berjalan, bahkan juga jika berbincang dengan lawan bicaranya. Ia tak sungkan bertatap muka walau dengan seorang pangeran sekalipun.
Mereka yang datang melamar bukan hanya terpikat dengan kecantikan Larasati, namun juga tertarik dengan kademangan Widarakandang. Jika ia bisa menyunting Larasati, besar harapannya untuk bisa menguasai kademangan Widarakandang.
………..
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.