Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1138
Mataram.
Sinuhun Hanyakrawati.
Senopati muda itu melayani pertanyaan dari Ki Sura Kendeng.
“Aku senopati prajurit dari barak pasukan di Jatinom…..!” Jawabnya.
“Ha ha ha ha ha…..! Mundurlah anak muda…..! Kau bukan lawanku. Aku tahu kau cucu murid orang bercambuk. Gurumu yang layak menjadi lawanku….!” Sesumbar Ki Sura Kendeng.
“Aku pun pernah mendengar nama Ki Sura Kendeng dari lereng gunung Kendeng. Gerombolan yang hanya berani mbegal orang dari pasar….!” Sindir senopati muda itu agar Ki Sura Kendeng marah.
“Gila kau anak muda….! Kami kau samakan dengan para begal…..!” Umpat Ki Sura Kendeng.
“Itulah yang aku dengar Ki, guru mereka yang menyamakan dirinya dengan Resi Ramabargawa tentu sangat berlebihan….!” Jawab senopati muda itu.
Namun jawaban Ki Sura Kendeng yang marah itu adalah sebuah ayunan pedang panjang yang sangat cepat dan kuat. Jika seorang prajurit biasa yang diserang, tentu tak akan mampu menghindar. Kepala orang itu tentu sudah terlepas. Namun yang diserang adalah senopati muda yang telah dipercaya sebagai seorang senopati di barak prajurit di Jatinom. Ia pasti seorang yang telah memiliki bekal yang lebih dari cukup. Ia hanya sedikit mencondongkan tubuh dan kepala ke belakang. Pedang panjang dan besar di tangan seorang yang sakti tersebut hanya melayang sejengkal di depan wajahnya. Para prajurit yang sempat menyaksikan terkesiap dibuatnya. Mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan senopati mereka.
Ki Sura Kendeng yang yakin akan berhasil menebas leher lawan itu justru terseret oleh tenaganya sendiri. Ia berputar lebih setengah lingkaran. Hampir saja ia terjerembab. Namun ia memang berilmu tinggi sehingga ia kemudian melenting menjauh. Senopati muda itu tidak mengejarnya. Namun ia kini telah bersiap sepenuhnya dengan senjata sabuk kulit di tangan. Sabuk itu adalah sabuk pemberian dari Ki Patih Mandaraka pada saat ia berkunjung ke tempat tinggal Raden Rangga sahabatnya saat itu. Dengan senjata sabuk itu pula ia berlatih dengan Raden Rangga. Raden Rangga yang ilmunya seakan tidak bisa dijajaki. Raden Rangga adalah putra tertua dari Kanjeng Panembahan Senopati. Namun sayangnya, ksatria yang masih muda saat itu telah tidak terdengar lagi kabar beritanya. Senopati muda yang menjadi sahabatnya itu pun tidak tahu kemana Raden Rangga pergi. Ki Patih Mandaraka-lah yang mengusulkan agar anak muda yang sebelumnya menjadi sahabat Raden Rangga itu yang mengusulkan agar ia diangkat menjadi senopati di barak pasukan di Jatinom. Ia yang sebelumnya telah menjadi prajurit di Pajang. Ia sebagai senopati menggantikan sepupunya yang telah purna tugas.
“Bangsat….! Licik kau anak muda….!” Umpat Ki Sura Kendeng yang kini telah bersiaga sepenuhnya.
“Kaulah yang licik Ki Sura…..!” Balas senopati muda itu.
Kini dua orang yang berilmu tinggi sudah saling berhadapan. Mereka dengan senjata yang berbeda. Walau Ki Sura Kendeng bersenjatakan pedang panjang dan besar, jauh lebih panjang dari pedang kebanyakan. Namun senjata lawannya seutas sabuk kulit memiliki jangkauan sedikit lebih panjang.
Ki Sura Kendeng tak lagi sembarangan menghadapi lawan yang masih muda tetapi telah berilmu tinggi itu. Pedang panjangnya yang besar kini telah teracu ke lawannya. Di tangan Ki Sura Kendeng, pedang panjang dan besar itu terlihat ringan bagai pedang bambu saja. Senopati muda itu juga tak ingin merendahkan lawannya. Jika ia lengah sedikit saja tentu nyawa yang menjadi taruhannya. Ia juga tak ingin hanya mengandalkan ilmu kebalnya saja. Karena seorang yang berilmu tinggi bisa saja menembus ilmunya. Terlebih dengan senjata di tangan.
Pedang panjang itu kini mendesing- desing dengan cepat. Senopati muda itu sibuk menghindar. Namun Ki Sura Kendeng terus memburunya. Ia tak ingin dipermalukan oleh orang yang masih muda itu. Sebuah ayunan pedang yang sangat cepat tak sempat dihindari oleh senopati muda itu.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.