Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1232
Mataram.
Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Suara titir itu berkumandang sampai jauh ke luar kota raja. Para prajurit yang mendengar segera berkemas menuju alun-alun. Mereka sama sekali tidak tahu ada apa gerangan sampai membunyikan titir berkepanjangan tak putus-putusnya. Titir tanda bahaya yang ditujukan ke para prajurit. Prajurit yang mendengar tak terkecuali harus segera bergegas ke alun-alun. Irama titir yang sangat jarang mereka dengar. Namun hampir semua prajurit mengetahui bahwa irama titir itu memanggil mereka. Semua prajurit pernah menerima pelatihan tentang berbagai irama titir. Yang kebingungan adalah kawula kebanyakan. Sebagian besar dari mereka tidak tahu makna dari irama titir yang asing bagi mereka.
“Ada apa Kang, kok titir tak putus-putusnya….?” Bertanya seorang istri.
“Entahlah…. aku juga tidak tahu. Sepertinya titir tanda bahaya…..!” Jawab suaminya.
Pertanyaan serupa hampir terdengar di setiap keluarga.
Para lelaki yang bernyali segera keluar dari rumah untuk mencari tahu. Tetapi bagi mereka yang penakut memelih meringkuk di kamar. “Mbok ya ke luar sana Pak-ne mencari tahu apa yang terjadi….?” Tegur sang istri yang melihat suaminya justru meringkuk di tempat tidur. “Berbahaya Nyi….! Siapa tahu ada perampokan….!” Dalih suami penakut.
Di pagi buta itu di sudut-sudut dusun berkumpul para lelaki. Sedangkan suara titir masih tetap berkumandang, bahkan sambung menyambung. Jika di dusun itu ada seorang prajurit atau prajurit yang telah purna tugas, ia akan mmberi tahu kepada siapapun.
“Kami para prajurit harus segera berkumpul di alun-alun….!” Berkata prajurit itu sambil berlari-lari kecil dengan menenteng senjata andalannya. Hampir semua bisa menduga bahwa ada musuh yang datang.
Dalam pada itu, irama titir itu juga didengar oleh para prajurit Mataram. Senopati telik sandi dari Mataram telah mengetahui bahwa suara titir dengan irama seperti itu adalah panggilan bagi seluruh prajurit Tuban. Seluruh prajurit Mataram segera diberi tahu tentang hal itu. Saat itu pasukan berkuda dari Mataram telah berderap mendekati kotaraja. Mereka segera bersiaga untuk menghadapi pertempuran yang sesungguhnya. Pasti tidak terjadi seperti ketika penyerbuan ke Lasem. Para prajurit panah berada di ujung pasukan dengan gandewa yang telah terentang. Dengan anak panah-anak panah siap luncur. Pangeran Juminah segera memerintahkan agar setiap mereka melihat seseorang yang berlarian dengan menenteng senjata agar segera diserang. Karena hampir pasti mereka adalah para prajurit musuh yang menanggapi panggilan titir. Yang terjadi memang seperti yang diperhitungkan oleh Pangeran Juminah. Beberapa orang dengan pakaian seadanya berlarian dengan menenteng senjata. Orang-orang itu tertegun ketika menyaksikan iring-iringan prajurit berkuda. Mereka memang kurang mendengar derap kaki kuda karena tertutup oleh gema titir kentongan yang bersahutan di seluruh kota raja. Tiba-tiba saja mereka berpapasan di jalanan. Namun sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, anak panah telah menancap di dada atau lambung mereka. Mereka hanya bisa menjerit menahan sakit yang kemudian berusaha beringsut masuk perkampungan. Hal seperti itu terjadi di hampir sepanjang perjalanan yang dilalui oleh pasukan Mataram. Namun sebagian dari para prajurit Tuban yang berada tak jauh dari keraton telah tiba di alun-alun. Demikian pula senopati Pringgajaya dan para senopati lainnya. Mereka pun telah bersiaga menyambut pasukan lawan yang diperkirakan akan tiba di alun-alun. Sebagian dari mereka telah pula merentangkan gandewa untuk menyambut musuh yang datang. Sayup-sayup mereka telah mendengar derap kaki-kaki kuda. “Rentangkan gandewa….! Anak panah siap luncur….!” Perintah dari senopati Pringgajaya. Para prajurit panah dari Tuban pun telah merentangkan gandewa mereka dengan anak panah siap luncur.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.
