Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)
(342)
Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Jaka Tingkir.
Seri Arya Penangsang.
Dengan perasaan menahan marah dan keterpaksaan. Para prajurit Jipang yang selamat itu memapah kawan-kawannya yang terluka dan mengusung prajurit yang tewas atau terluka parah. Mereka diawasi oleh para prajurit Pajang tetapi tidak diganggu.
Namun prajurit yang selamat dan tidak terluka jauh lebih sedikit dari prajurit yang terluka dan tewas. Dengan demikian menjadi tugas yang tidak ringan bagi mereka.
Para prajurit Pajang mengikuti para prajurit Jipang sampai ke tempat kuda-kuda mereka ditambatkan. Jika mereka mau, mereka bisa menumpas habis seluruh prajurit Jipang yang sebagian besar sudah tidak bersenjata itu. Dan seandainya mereka mau, mereka bisa melepaskan kuda-kuda milik prajurit Jipang untuk disita atau dilepaskan begitu saja sehingga mereka kesulitan untuk kembali ke Jipang. Namun hal itu tidak diperintahkan oleh senopati Ki Penjawi.
Bagaimana pun kejamnya sebuah peperangan, namun Ki Penjawi masih memiliki rasa kemanusiaan. Meskipun saat itu ada beberapa prajurit Pajang yang terluka, namun tidak membahayakan jiwanya.
Ki Penjawi teringat bagaimana Sultan Hadiwijaya telah melepaskan para soreng yang telah berusaha membunuh dirinya. Bahkan Sultan Hadiwijaya kemudian memberi hadiah kepada para soreng itu.
Ketika matahari telah naik sejengkal, para prajurit Jipang yang kalah perang itu telah bersiap meninggalkan tempat itu.
Mereka sempat mencabut anak panah-anak panah di tubuh rekannya dan kemudian membebatnya dengan sobekan kain. Bahkan tak sedikit prajurit yang tertancap lebih dari dua batang anak panah. Bahkan pula ada yang kemudian meninggal ketika sedang dirawat. Mereka kemudian dinaikkan di atas punggung kuda.
Mereka marah dan malu menjadi tontonan para prajurit Pajang.
Namun demikian, di lubuk hati yang paling dalam mereka masih bisa bersyukur karena mereka tidak dihabisi oleh prajurit Pajang. Bahkan mereka diberi kesempatan untuk kembali ke Jipang dengan kuda-kuda mereka. Masih wajar jika mereka semua dilucuti senjata-senjata yang mereka bawa.
Sesungguhnya mereka heran dengan sikap para prajurit Pajang itu. Seandainya para prajurit Jipang itu di pihak yang menang, mereka pasti telah menumpas habis prajurit lawan. Dan mereka akan menjarah apapun yang berharga sebagai rampasan perang. Dan tentu saja kuda-kuda akan menjadi rampasan yang sangat berharga.
Para prajurit Jipang yang bersiap meninggalkan tempat itu terkejut bukan buatan. Ketika itu mereka mendengar para prajurit Pajang bersorak-sorai. Mereka, para prajurit Jipang itu semakin terkejut ketika mendengar bahwa ujung barisan pasukan Pajang yang besar telah mendekati tempat itu. Oleh karena itu, mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu agar tidak menjadi tontonan seluruh pasukan Pajang. Atau yang paling dikhawatirkan ialah jika karena kedatangan pasukan yang besar itu merubah kebijakan senopati yang memperbolehkan mereka untuk kembali ke Jipang.
Ketika ujung pasukan Pajang itu tiba di tempat itu, para prajurit Jipang telah meninggalkan tempat itu. Pasukan itu memang telah menerima kabar apa yang terjadi di sekitar jembatan Masaran. Mereka juga sudah mendengar bahwa pasukan Pajang yang terdiri dari sepuluh bregada mampu melumpuhkan pasukan Jipang.
“Heee…., mengapa mereka dibiarkan kembali ke Jipang…..?” Bertanya salah seorang senopati yang baru tiba.
“Biarlah mereka pergi, mereka telah lumpuh sama sekali. Tak mungkin mereka akan mengadakan perlawanan, lagi pula seluruh senjata sudah kita sita. Dan jika menjadi tawanan tentu akan merepotkan kita semua. Dan juga tidak mungkin kita membunuh mereka semua di sini dan menghanyutkan jasadnya di sungai ini……!” Berkata Ki Penjawi.
Senopati itu mencoba memahami maksud dari Ki Penjawi. Ia juga menyadari, jika prajurit Jipang itu dibantai di tempat ini tentu akan dicatat dalam sejarah peperangan yang paling kejam.
Akhirnya seluruh pasukan Pajang telah tiba di tempat itu. Demikian pula Ki Juru Martani dan Ki Pemanahan.
………………
Bersambung……………
(@SUN).