Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(487)
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Semakin malam terasa semakin mencekam. Di dalam barak maupun di dalam pondok tidak terdengar suara apapun. Namun hampir tidak ada yang tertidur.
Bahkan Ki Juru Martani, Ki Ageng Mataram, Ki Demang Karanglo pun tidak keluar dari pondok mereka. Dan mereka pun tidak tertidur, namun tidak berbincang.
Demikian pula yang berada di barak Papringan hampir sama dengan yang berada di Kotagede.
Ki Ageng Giring juga berada di dalam pondok.
Yang berada di barak Papringan pun hampir tidak ada yang tertidur sama sekali. Bahkan para wanita di dapur juga tetap terjaga.
Mereka justru ingin tahu ada suara atau kejadian apakah malam ini sampai pagi hari nanti.
Hampir tengah malam saat itu. Satu-satunya orang yang keluar dari pondok hanyalah Raden Mas Danang Sutawijaya. Bahkan ia telah berdiri di tepi sungai Gajahwong. Ia memang berdiri di tempat itu, karena bala bantuan itu akan datang melewati sungai Gajahwong ini. Ia berdiri di tempat itu agar bala bantuan itu tidak terus berlalu melewati sungai Gajahwong itu.
Beberapa saat Raden Mas Danang Sutawijaya berdiri di tepian sungai Gajahwong dengan menghadap ke arah hilir.
Sayup-sayup Raden Mas Danang Sutawijaya telah mendengar suara gemerincing dari arah hilir. Suara yang pernah ia dengar ketika ia sedang bersamadi di bukit Bangkel di tepi sungai Opak ketika itu. Ketika itu, ia sekilas melihat iring-iringan kereta dan banyak kuda yang melayang di atas sungai Opak. Baru kemudian ia ketahui bahwa iring-iringan itu dari puncak Merapi menuju laut Kidul. Karena penglihatannya itu-lah Raden Mas Danang Sutawijaya kemudian menyusur sungai Opak hinga laut Kidul.
Ketika itu kemudian Raden Mas Danang Sutawijaya berjumpa dengan seorang wanita cantik jelita untuk pertama kalinya. Walau perjumpaan itu dalam alam yang lain.
Kali ini, Raden Mas Danang Sutawijaya bisa mengalami dua alam yang berbeda, alam gaib dan alam nyata.
Suara gemerincing itu semakin lama semakin mendekat.
Yang berada di dalam pondok pun juga mendengar suara gemerincing yang semakin lama semakin riuh rendah. Demikian pula yang berada di barak Papringan pun mendengar pula walau sayup-sayup.
“Lampor……, itu suara lampor…..!” Bisik salah seorang dari penghuni barak Papringan.
“Lampor…… lampor…… lampor…….!” Mereka kemudian saling bergumam.
Yang berada di barak dan pondok di Kotagede mendengar lebih jelas. Semakin jelas dan sepertinya banyak kereta yang datang. Bahkan seperti hanya berada tak jauh dari barak dan pondok mereka. Karena itu mereka tak berani berbincang walau hanya berbisik.
Suasana sangat mencekam justru ketika tak terdengar suara apapun, sepi sunyi. Bahkan mereka menahan nafas seakan takut jika helaan nafas terdengar dari luar barak.
Sejenak kemudian suasana semakin mencekam dan mendebarkan ketika terdengar suitan melengking panjang.
Lengkingan yang tidak sewajarnya yang membuat bulu kuduk berdiri bagi mereka yang tak bernyali.
Sekejap kemudian terdengar riuh rendah seperti terjadi pertempuran. Namun suara-suara itu bukan seperti suara manusia sewajarnya.
Yang mereka dengar dari dalam pondok atau dari dalam barak adalah seperti lenguhan, lengkingan, desahan dan teriakkan. Namun teriakkan itu bukan seperti teriakkan bahasa manusia sewajarnya.
Semakin lama suara-suara yang tidak sewajarnya itu semakin meluas. Dan bahkan pondok, barak dan pemukiman itu seperti terkepung oleh suara-suara yang mendebarkan dan mengerikan.
Mereka tidak ada yang berani melongok keluar jendela, dan bahkan dari celah-celah kayu dan bambu.
Suara-suara gaduh riuh semakin hiruk pikuk. Suara-suara yang jauh dari bahasa manusia. Bahkan kemudian juga terdengar suara jeritan kesakitan. Kadang juga terdengar seperti suara orang tertawa terbahak. Namun suara terbahak itu pun jauh dari terbahak-nya seorang manusia.
…………….
Bersambung…………
(@SUN-aryo)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.