Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(537)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Bregada prajurit pun terus bersambung dari kadipaten-kadipaten yang tergabung dalam pasukan besar itu. Pasukan berikutnya dari Tegal, Brebes, Pelongan yang tidak terlalu banyak namun menarik perhatian karena pakaian mereka yang berbeda. Para penonton di pinggir jalan menyambut dengan tepuk tangan yang meriah. Para prajurit pun tersenyum gembira mendapat sambutan yang ramah dari kawula Pajang.
Bregada berikutnya dari Banyumas yang disambung dari Bagelen dan Menoreh. Tiga orang prajurit Banyumas menari-nari sambil berjalan yang diiringi kendang kecil yang menghentak. Para penonton bertepuk tangan meriah dan tertawa-tawa karena gerakan tari yang lucu.
Bregada berikutnya dari sekitar Dieng yang berpakaian serba hitam. Pakaian yang berbeda itu menarik perhatian para penonton. Panji-panji yang mereka kibarkan juga menarik perhatian karena bergambar seekor burung gagak.
Kadipaten-kadipaten lain kemudian menyambung di belakangnya.
Para penonton kemudian bertepuk tangan sangat meriah ketika barisan yang lewat adalah pasukan besar dari Pajang dan sekitarnya. Banyak dari mereka yang menyebutkan nama-nama para prajurit. Banyak para penonton di pinggir jalan itu yang mengenal para prajurit itu. Bahkan prajurit-prajurit itu adalah tetangga mereka, sanak saudara mereka, kawan mereka. Dan bahkan di antara para prajurit itu adalah anak mereka atau justru suaminya.
“Kakaang……! Kakang Pranaa…..!” Teriak melengking seorang wanita.
“Warsiiii…..!” Balas seorang prajurit dari barisan.
Keduanya hanya bisa saling melambaikan tangan. Mereka adalah temanten baru yang harus berpisah karena kwajiban seorang suami sebagai seorang prajurit.
Sepanjang perjalanan itu banyak nama terdengar dari kerumunan para penonton.
“Sukraa….! Kemiis….! Kliwoon….! Rebooon….! Gansaar….! Tupooon….!Tumiiin….! Rejaaa….! Bejaaa…!” Dan masih banyak lagi nama-nama yang mereka sebutkan karena memang mereka kenal.
Yang dipanggil pun senang dan bangga dengan melambai-lambaikan tangan dan tersenyum lebar.
Bregada prajurit Pajang yang panjang sehingga sehingga tepuk tangan dan teriakan tak henti-hentinya.
Namun setelah bregada-bregada prajurit Pajang itu lewat, tak sedikit dari mereka yang berada di pinggir jalan itu berkaca-kaca dan bahkan banyak yang menangis sesenggukan. Mereka adalah ibu, kakak, adik atau bahkan istri dari prajurit yang baru saja lewat. Semula mereka bertepuk tangan bangga, namun kini mereka mengkhawatirkan keselamatan orang terdekatnya. Para prajurit itu bukan akan bertamasya, namun akan maju perang. Perang yang akan saling bunuh di medan laga, membunuh atau dinunuh. Apakah pasukan mereka nantinya akan jaya dan orang terdekat itu tetap selamat berkumpul dengan keluarga.
Yang mereka tahu bahwa peperangan itu kejam tak kenal belas kasihan.
Isak tangis itu ternyata menular, orang di sampingnya yang sebelumnya menasehati agar tabah melepaskan orang terdekatnya, kini justru ikut menangis pula.
“Yang tabah, iklas dan rela. Suamimu itu adalah pejuang negeri….! Kau harus bangga….!” Hibur seorang wanita.
“Tetapi aku sudah terlambat garap sari, Bibi…..! Benih ini butuh dirawat oleh yang menanam, Bibi…..!” Isak seorang wanita muda.
Orang yang disebut Bibi itu tersenyum namun kemudian berkaca-kaca. Ia tahu bahwa keponakannya itu masih termasuk temanten baru.
Dan ternyata tangis sesenggukan itu hampir merata di sepanjang pinggir jalan yang telah dilalui oleh pasukan Pajang dan sekitarnya.
Pasukan dari Pati yang berada di paling belakang justru heran. Mereka tidak disambut dengan tepuk tangan dan teriakan, namun tangisan di sepanjang perjalanan. Namun mereka kemudian baru menyadari bahwa orang-orang itu baru saja melepas sanak saudaranya untuk berperang.
…………….
Bersambung………….
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.