Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(543)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Malam hari itu juga, Kanjeng Sunan Mrapen bersama Kanjeng Adipati Panji Wiryakrama dan Raden Pranatu serta beberapa pengiringnya meniggalkan perkemahan untuk menuju ke perbatasan kadipaten Lamongan. Mereka tak ingin segera bertemu dengan Adipati Lamongan di barak pasukan yang telah bersiaga. Mereka tidak ingin menunda sehingga menjadi terlambat. Dan jika terlambat tentu akan sulit untuk menghentikannya. Apalagi jika pasukan Pajang sudah sampai di hutan perbatasan Lamongan pula. Peperangan yang sebenarnya bisa pecah setiap saat.
Kuda-kuda milik Kanjeng Sunan Mrapen beserta para pengiringnya telah cukup beristirahat sehingga bisa melanjutkan perjalanan. Namun demikian, di malam yang gelap itu mereka tidak bisa memacu kuda-kuda mereka.
Di malam itu, para senopati dari Pasukan Lamongan sedang merancang jebakan-jebakan untuk pasukan Pajang. Mereka tahu satu-satunya jalan yang akan dilalui oleh pasukan Pajang adalah jalan itu.
“Besuk di lereng bukit di atas jalan itu kita pasangi batu-batu dan gelugu batang kelapa. Ketika pasukan Pajang lewat di bawahnya, tali jebakan kita lepas. Ratusan prajurit pasti akan menjadi korban……!” Usul salah seorang senopati.
“Bagus……! Itu salah satunya…..!” Berkata senopati yang lain.
“Aku usul…..! Bagaimana jika di sungai perbatasan itu besuk kita lepaskan ribuan ular berbisa. Mereka pasti akan menggunakan sungai itu untuk berbagai keperluan…..!” Usul salah seorang senopati.
*Itu terlalu sulit…..! Mencarinya ular yang ribuan itu bagaimana? Jangan- jangan kita yang menjadi korban…..!” Sanggah yang lain.
“Benar juga…..! Itu terlalu sulit…..!” Berkata yang lain.
“Kalau aku usul……! Bagaimana jika jembatan kayu itu besuk kita buat jebakan. Di bagian yang tertutup air kita gergaji separuh. Jika mereka lewat tentu akan tercebur ke sungai….!” Usul yang lain.
“Jika jembatan ambrol, korban paling tercebur ke sungai dan tidak berbahaya. Aku kurang setuju…..!” Sanggah yang lain lagi.
Perbincangan para senopati Lamongan semakin seru, berbagai usul muncul dalam perbincangan itu. Mereka harus bisa mengurangi jumlah pasukan Pajang sebelum peperangan benar-benar terjadi.
Dalam pada itu, Adipati Lamongan terkejut ketika menjelang tengah malam seorang prajurit mengabarkan bahwa Kanjeng Sunan Mrapen dan Kanjeng Adipati Panji Wiryakrama dan Raden Pranatu beserta beberapa pengiringnya datang ke perkemahan.
“Ooh….., Kanjeng Sunan dari Giri…..? Pasti ada hal yang sangat penting…..! Terlebih datangnya di tengah malam seperti ini…..!” Batin Kanjeng Adipati Lamongan.
Kanjeng Adipati Lamongan segera menemui para tamunya.
Kanjeng Sunan Mrapen yang menyapa terlebih dahulu dengan sapaan keagamaan yang sering ia ajarkan. Kanjeng Adipati Lamongan pun menjawab dengan fasih. Kanjeng Adipati Lamongan juga termasuk siswa dari Kanjeng Sunan Mrapen. Dan kemudian mereka saling berkabar keselamatan sesuai adat istiadat yang berlaku.
“Kami telah menyiapkan pasukan segelar sepapan. Bahkan pasukan cadangan juga sudah kami siapkan. Para pengawal kademangan di seluruh kadipaten Lamongan juga sudah kami kerahkan…. !” Berkata Kanjeng Adipati Lamongan.
“Jika benar-benar terjadi pertempuran tentu korban akan sangat banyak…..!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen.
“Demi kewibawaan dan kebesaran Lamongan itu kami lakukan, Kanjeng…..!” dalih dari Kanjeng Adipati Lamongan.
“Tetapi keluarga korban akan kehilangan orang yang dibanggakan untuk selamanya…..!” Berkata Kanjeng Sunan Mrapen.
“Jika pasukan dari Surabaya dan dari Madura telah bergabung, korban yang banyak itu ada di pihak Pajang…..!” Dalih Kanjeng Adipati Lamongan.
“Dan korban menjadi semakin banyak dari kedua belah pihak. Itulah yang tidak kita kehendaki…..! Kita tidak ingin ada korban seorang pun. Kalian semua adalah satu saudara dalam kepercayaan yang aku ajarkan. Tidak selayaknya kalian saling bunuh membunuh…..!” Lanjut Kanjeng Sunan Mrapen.
……………
Bersambung………